Rabu, 02 Mei 2012

Haji Datuk Batuah

Dalam pergulatan sejarah pemikiran Islam akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 Masehi, Minangkabau pernah memiliki seorang Datuk, namanya Datuk Batuah – lengkapnya Ahmad Chatib gelar Haji Datuk Batuah. Orang Koto Laweh ini, pada masa itu sangat mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Persoalannya adalah Datuk Batuah yang haji itu adalah murid ulama ternama Haji Rasul alias Inyiak Dotor, ayahanda ulama legendaris Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Beliau sendiri sampai awal tahun 1923 berprofesi sebagai guru dan menjadi pengurus Thawalib Padangpanjang, Batusangkar dan Bukittinggi. Dalam sejarah, nama Datuk Batuah bukanlah nama yang bagus dikalangan pergerakan Islam, hingga kini. Sejarah mencatat Haji Datuk Batuah membawa dan, menyebarkan paham komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat dengan Inyiak Dotor sebagai “pilar” utamanya. Haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya.


Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani. Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155). Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis. Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin (sebagian mengatakan Natar Zaenuddin) mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Melalui media massa Pemandangan Islam dan Djago Djago – Datuk Batuah memaklumkan diri sebagai “orang komunis”. Datuk Batuah menerbitkan harian “Pemandangan Islam” dan dan Nazar Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago” (Djago-Djago bukan berkonotasi fisik atau kuat-hebat, jagoan - namun lebih berkonotasi “pengingat” untuk tidak terhanyut dengan keadaan yang ada, tidak pasrah dan seterusnya).




Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis. Padahal, kontribusi pencerahan yang dirintis oleh Datuk Batuah dengan Pemandangan Islam dan Djago Djago sungguh sangat luar biasa. Konon, pada masa ini, ada tiga media massa paling berpengaruh di Hindia Belanda, dua diantaranya terdapat di Minangkabau …… Pemandangan Islam dan Djago Djago. Bahkan, Ruth Mc Vey dalam bukunya The Rise of Indonesian Communism dan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak mengatakan bahwa Datuk Batuah dan Haji Misbach (yang ini tokoh Islam “kiri” Surakarta), sangat dihormati oleh kolonial Belanda bukan karena mereka “penjilat” akan tetapi idealisme mereka yang sangat tinggi untuk mencerahkan lingkungan masyarakat dan bangsanya.



Pada pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat propaganda komunis berpindah ke Padang ( Schreike, 1960: 60). Pucuk kepemimpinan PKI Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said Ali. Sejarah Datuak Batuah kemudian “terhenti” dan dibuang (diasingkan) bersama Natar Zaenuddin ke Tanah Merah - Boven Digoel, sebuah tempat pembuangan tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap kolonial Belanda berpotensi mengganggu stabilitas politik yang mereka bangun. Digoel diibaratkan seperti Gullag-nya Uni Sovyet era Joseph Stalin, sebagaimana yang pernah dinukilkan oleh Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago. Sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi pernah mendeskripsikan Digoel atau Tanah Merah, dengan “penceritaan” yang menggentarkan. Begitu seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti menandatangani kontrak kematian. Di daerah ini, kata Shiraishi, “Banyak yang hancur mentalnya karena putus asa.” Di daerah ini pulalah, Datuak Batuah kemudian ”redup”. Ahmad Chatib yang bergelar Haji Datuk Batuah sampai hari ini, “seakan-akan” tidak ditangkap oleh layar sejarah sebagai aktor sejarah kontributif dan inspiratif. Terkadang sejarah selalu “bersimpang dua” - meminjam istilah filosof muslim, Hassan Hanafi.

Muhammad Ilham