Einstein :
Es ist leichter, ein Atom zu zertrümmern als ein Vorurteil (lebih mudah menghancurkan atom dari pada menghilangkan prasangka)
Stereotip yang dicapkan untuk sebuah bangsa, sebuah suku, sebuah kelompok atau bahkan perorangan ini memang sulit dikendalikan, orang Jerman dicap rasis, orang Indonesia dicap teroris, suku A dicap pelit, suku B dicap copet, ada saja cap-cap yang menuang kebencian dihembuskan dalam kehidupan ini.
Demikian juga di Jerman. Dalam 10 tahun belakangan ini, isu integrasi dan multi budaya sangat kencang, ditambah aksi-aksi teror dan rasisme menambah sulit keberlangsungan hidup bersama bebas prasangka. Padahal kurang lebih 40% orang Jerman sekarang ini berlatar belakang imigran dan kurang lebih 3,5 dari 80 juta penduduknya menganut agama Islam. Untuk sebuah negara yang terdiri dari beragam asal usul suku, agama, ras dan budaya, pengertian kebangsaan menjadi sangat sensitif.
Bila menilik sejarah dan mencari siapakah bangsa Jerman itu ?? Dari mulai manusia ada sampai akhir zaman Romawi belum ada itu yang namanya orang Jerman. Memang … yang merebut kota Roma dari bangsa Romawi adalah orang Bizantium dan Germania, tapi apakah orang Germania ini orang Jerman ???
Orang Germania penakluk kota Roma saat itu adalah gabungan suku dan bangsa dari Eropa Tengah dan Skandinavia Selatan, dikategorikan jadi satu karena memiliki kesamaan bahasa jadi bukan bangsa Jerman yang kita kenal sekarang ini.
Sedangkan kata Deutschland sendiri bukanlah sebuah kata yang terbentuk dari dulu kala, orang bahkan tidak berani memastikan kapan kemunculannya secara obyektif. Kalau dilihat dari sejarah, terutama setelah Karl der Größe, daerah Jerman yang sekarang ini adalah daerah Ost-Fränkisch, yang dikuasai oleh Ludwid II, cucu Karl der Größe dan terdiri dari bangsa Allemania, Bayern, Sachsen, Franken dan Thüringen. Diantara bangsa-bangsa ini tidak bisa saling mengerti karena mereka memiliki dialek bahasa masing-masing. Baru setelah Martin Luther menerjemahkan kitab perjanjian baru mulai lahirlah bahasa Jerman yang seragam.
Deutschland konon lahir dari kata Theodiscus atau theoda dari bahasa fränkisch yang artinya rakyat, sebutan untuk rakyat yang tidak menguasai bahasa latin. Karena memang hanya para gerejawan dan petinggi tertentulah sajalah yang saat itu bisa berbicara bahasa latin.
Jadi bila kemudian ada yang menjadi fanatik dengan masalah kemurnian kebangsaan, kesukuan, kelompok seperti Hitler misalnya sangatlah absurd. Apalagi bila mengingat tindakan Hitler dengan bengisnya mengiris keturunan manusia dengan seenaknya … sangat mengerikan !!!
Di balik keberhasilan Jerman mengangkat ekonomi negaranya sejajar dengan negara yang menang perang, andil para pekerja tamu atau asing tidak bisa dianggap enteng. Sebagai negara kalah perang dan negara yang kehilangan banyak penduduknya di medan perang, Jerman membutuhkan banyak tenaga kerja untuk membangun kembali negaranya.
Awal tahun 50-an, Menteri Perekonomian Jerman Ludwig W Erhard dari partai CDU mengusung konsep „Wohlstand für alle“, konsep ini berupa kesempatan kerja terbuka untuk siapa saja. Untuk itu tahun 1955 dilakukan perjanjian dengan Itali untuk mendatangkan para pekerja, disusul kemudian tahun 1960 dengan Portugal, Spanyol, Yunani dan Turki. Dari sanalah mulai muncul istilah „Gastarbeiter“ atau pekerja tamu, disebut tamu karena memang kehadiran mereka direncanakan hanya untuk sementara saja.
Kedatangan para pekerja tamu ini sangat dirayakan oleh masyarakat Jerman saat itu. Bahkan tahun 1964 pekerja tamu yang ke sejuta di stasion kereta Köln disambut dan dihadiahi moped, motor sepeda. Para pekerja tamu ini sebagian besar didatangkan untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan pendidikan.
Demikian suksesnya perekonomian Jerman saat itu membuat daya beli orang Jerman meningkat pesat sedangkan biaya hidup tetap konstan sehingga mereka memiliki kelebihan uang untuk membeli barang-barang konsumtif seperti meubel, mobil dan untuk rekreasi.
Untuk sesaat konsep Erhard dari CDU ini tampak berhasil tapi bagaimana dengan nasib para pekerja tamu ??? Apakah setelah itu mereka kembali ke negaranya ?? Konsep yang mencanangkan rencana sementara mereka tinggal di Jerman ini ternyata meleset ….. karena pada kenyataannya para pekerja tamu ini menetap tinggal di Jerman dan bahkan sampai generasi ke-3 mereka sekarang. Generasi ke-3 para pekerja tamu ini tentu saja hanya mengenal Jerman sebagai tanah air mereka.
Integrasi antara orang Jerman dengan para pekerja tamu dan turunannya atau dengan orang asing pada umumnya terkadang masih berjalan alot. Kealotan ini terkadang dipicu oleh prasangka yang didasari ketidaktahuan, ketidakperdulian, perasaan rendah diri, kesombongan, rasa proteksi atau keserakahan. Hal ini menimbulkan masyarakat paralel di dalam masyarakat.
Sampai sekarang terkadang masih ada letupan dan konflik integrasi terjadi di Jerman. Kejadian terakhir yang memicu diskusi santer adalah tindakan agresif kaum Salafis membagikan Al Quran dan kritikan Thilo Sarrazin, seorang penulis dan politiker dari partai SPD, yang menulis buku Deutschland schafft sich ab (Deutschland mengurangi diri sendiri) berisi kritikan atas banyaknya orang asing di Jerman.
Masalah integrasi tidak hanya ada di Jerman. Indonesia dan banyak negara menyimpan kisahnya sendiri dengan kehidupan bersama penuh damai. Saya pribadi menilai globalisasi dan dinamika perpindahan akan sulit dibendung. Bagaimana kita menyelesaikan tugas hidup ini dengan baik penuh damai terlepas dari prasangka, cap atau stereotip apa saja, adalah tugas sulit dari kehidupan karena seperti yang dikatakan Albert Einstein, lebih sulit menghancurkan prasangka dari atom.
Salam damai dan selamat berakhir minggu dengan menyenangkan. (ACJP)
Cahaya hati