Minggu, 20 Mei 2012

Pelajaran dari Batu Sandi






KOMPAS/WAWAN H PRABOWO


Lumbung padi berdiri di atas batu sandi atau umpak di Desa Lempur Mudik, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Jambi, Minggu (4/3). Umpak menjadi salah satu ciri khas rumah tradisional di Pulau Sumatera yang merupakan daerah rawan gempa.


Umpak atau biasa disebut batu sandi di Sumatera merupakan ciri khas yang bisa ditemui di rumah-rumah tradisional di pulau ini, terutama di sepanjang Bukit Barisan dan pantai barat yang rawan gempa.

Beberapa penelitian menemukan, batu sandi merupakan salah satu teknik konstruksi bangunan tradisional tahan gempa. Batu sandi biasa dikombinasi dengan material kayu dan teknik sambungan sendi pada kerangka utama dengan pasak yang membuat bangunan lentur dan tahan menghadapi gaya lateral gempa.

Adakah para pengusung kebudayaan megalitik ini menyadari bahwa di balik kelimpahan daya hidup, lembah-lembah di kaki Bukit Barisan itu menyimpan bahaya gempa?

Lembah-lembah bentukan periode Miosen Tengah atau sekitar 13 juta tahun lampau itu patahan raksasa. Di sepanjang zona ini gempa nyaris tak berhenti.

Inilah Patahan ”Besar” Sumatera; zona kematian sepanjang 1.650 kilometer yang bertaut erat dengan zona kehidupan sejak zaman prasejarah, jalur gempa yang berimpit dengan lembah subur kaya mineral dan sabuk emas.

Data Litbang Kompas, jalur patahan ini memotong 13.188 jembatan dan melewati 7 provinsi, 43 kabupaten/kota, 258 kecamatan, dan 2.286 desa. Sebanyak 3.829.898 warga tinggal di sepanjang 2,5 km di kanan-kiri garis patahan ini.

Menurut catatan ahli gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman, sejak 1890-an hingga 1990-an terjadi 21 gempa besar di sepanjang Patahan ”Besar” Sumatera. Artinya, patahan berpotensi melepas 1-2 kali gempa besar tiap dekade. Beberapa gempa besar 20 tahun terakhir di antaranya gempa 7 skala Richter di Liwa tahun 1994, gempa Kerinci 7 skala Richter tahun 1995, gempa Singkarak-Solok 6,4 skala Richter pada 6 Maret 2007, dan gempa Kerinci 7 skala Richter tahun 2009.

Dari kedalaman Selat Sunda, garis patahan itu muncul di Pulau Sumatera lewat Teluk Semangko; lembah raksasa berbentuk setengah lingkaran yang dibelah Way (Sungai) Semangko tepat di tengahnya. Menyusuri lembah dan danau-danau di sepanjang Bukit Barisan dari Teluk Semangko hingga Aceh, garis patahan itu lalu menyelam ke Selat Sabang. Garis itu muncul lagi di daratan membelah Pulau Weh, lalu menyusup di dasar Laut Andaman.

Di sepanjang garis patahan inilah kulit bumi retak, dan satu sisi dengan sisi lainnya bergerak horizontal. Lempeng Bumi di bagian barat Patahan Sumatera bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan 10 mm per tahun hingga 30 mm per tahun relatif terhadap bagian di sebelah timurnya. Namun, pada kedalaman 10-20 kilometer, kedua bidang patahan ini terkunci erat. Tekanan terkumpul hingga ratusan tahun.

Jika tekanan yang terkumpul sudah demikian besar sehingga bidang kontak tak kuat lagi menahan, batuan di kanan-kirinya akan melenting tiba-tiba. Terjadilah gempa. Bumi di bagian barat patahan pun akan bergeser tiba-tiba ke arah utara dan yang di bagian timur bergeser ke arah selatan, mencipta rekahan. Setelah gempa, bidang patahan akan kembali merekat dan terkunci lagi, dan mengumpulkan tekanan elastik sampai berulang kembali.

Sebelum gempa, pergerakan tanah ini tak dapat teraba indra. Namun, pada waktu gempa bumi, pergeseran tanah secara tiba-tiba bisa lebih dari 1 meter. Pada gempa bumi Tarutung tahun 1892, pergeseran mencapai 1,3 meter, kemudian pada gempa bumi Padangpanjang tahun 1926 selebar 60 cm, gempa bumi Tes (Sumatera Selatan) tahun 1953 tercatat 0,4 meter, dan gempa bumi di Singkarak-Solok (Sumatera Barat) pada 2007 menyebabkan pergeseran sekitar 25 cm. Semakin besar gempa, semakin besar pula pergeseran tanahnya.

Sebelumnya, orang menganggap lembah-lembah itu terpisah satu sama lain dan masing-masing bergerak sendiri-sendiri dengan arah gerakan vertikal. Baru pada kongres internasional di Tokyo, 1966, dua ahli Indonesia, geolog JA Katili dan pakar sedimentologi Fred Hehuwat, membuktikan bahwa lembah-lembah itu merupakan patahan yang aktif dan bergerak horizontal.

Meski arah pergerakan patahan Sumatera ini sudah diketahui, sebelum 2000-an belum ada yang memetakannya rinci. Danny Hilman dan gurunya dari California Institute of Technology, Kerry Sieh, adalah yang pertama memetakan berdasar analisis geomorfologi dari peta topografi skala 1:50.000, foto udara skala 1:100.000, dan citra satelit.

Pada 2010, pemerintah membentuk tim gabungan untuk menyusun Peta Gempa Indonesia. Hasilnya, Patahan ”Besar” Sumatera dibagi 19 segmen utama. Panjang tiap segmen 35-200 km dan diberi nama sesuai nama sungai atau teluk yang dilaluinya. Segmen itu antara lain Selat Sunda, Semangko, Kumering, Manna, Musi, Ketaun, Dikit, Siulak, Suliti, Sumani, Sianok, Sumpur, Toru, Renun, Tripa, Seulimeum, dan Aceh. Patahan-patahan itu berpotensi jadi sumber gempa daratan 6,8 skala Richter hingga 7,8 skala Richter.

Tiap segmen punya kecepatan gerak sendiri. Patahan aktif ini bergerak 5 mm per tahun di Sunda, lalu bertambah cepat ke utara menjadi 11 mm per tahun di Ketaun, lalu 23 mm per tahun di Sianok. Kecepatan tertinggi, 27 mm per tahun terjadi di Renun, lalu menurun kembali di Tripa menjadi 6 mm per tahun, hingga di Aceh menjadi 2 mm per tahun. Semakin tinggi kecepatan gerak, semakin kerap gempa terjadi.

Kejadian gempa selalu melepas energi yang terkunci di tiap segmen selama puluhan hingga ratusan tahun. Misalnya, gempa 2007 di Sumatera Barat terjadi karena lepasnya akumulasi energi di segmen Sianok. Sebelumnya, segmen ini melepaskan energi pada 1943 dan 1927. Segmen Sorik Merapi juga sudah pecah. ”Bagian yang belum pecah, dan harus diwaspadai, adalah segmen Koto Gadang-Bonjol, dan segmen Renun di sekitar Toba,” kata Danny Hilman.

Ke arah utara Sumatera, jalur sesar yang melalui Banda Aceh hingga Pulau Weh masih gelap. ”Tak ada data segmen sesar di Aceh ini pernah pecah. Gempa darat di sana hanya kecil-kecil, tak lebih dari 5 skala Richter,” ujar Danny. ”Kami belum tahu mengapa seperti itu. Padahal, di segmen ini sangat berpotensi terjadi gempa besar.”

Hal pokok terkait gempa adalah waktu pemunculannya. Ia muncul sesukanya, tak terpola patokan waktu manusia. Manusia hanya bisa menunggu dan menunggu, sampai kemudian lupa dan tiba-tiba guncangan besar terjadi.

Satu hal pasti, gempa akan terus terjadi di jalur Patahan ”Besar” Sumatera. Namun, di segmen mana dan kapan persisnya gempa akan terjadi tak gampang diprediksi hingga dalam bilangan hari, bahkan tahun. Seperti melempar dadu: kita tak pernah tahu angka berapa yang akan muncul. Namun, kita tahu pasti akan ada satu angka yang keluar.

(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)