“Pada 1960-an, media elit menciptakan feminisme gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order.”
Sejak menuliskan kata-kata ini minggu lalu (tulisan ini dibuat Januari 2004. red), saya menemukan bahwa sebelum menjadi seorang pemimpin kaum feminis, Gloria Steinem adalah orang bekerja untuk CIA. Tugas utamanya adalah memata-matai mahasiswa Marxist di Eropa dan mengacaukan pertemuan mereka. Gloria pun menjadi anak kesayangan media berkat koneksi dekatnya dengan CIA. Ms. Magazine, sebuah majalah perempuan di mana dia bekerja sebagai editor selama bertahun-tahun pun didanai secara tak langsung oleh CIA.
Namun menariknya adalah Steinem selalu berpura-pura dirinya adalah mahasiswi radikal. Kepada Susan Mitchell tahun 1887, ia pernah berkata, “Saya kuliah di era McCarthy dan itu menjadikan saya seorang Marxis.” (Icons, Saints and Divas: Intimate Conversations with Women Who Changed the World, 1997, hal. 130) Uraian singkat biografinya dalam Ms. Magazine Juni 1973 menyatakan: “Gloria Steinem telah menjadi penulis lepas sepanjang kehidupan profesionalnya. Ms. Magazine merupakan pekerjaan penuh waktu pertamanya yang menghasilkan gaji untuknya.”
Semuanya itu tidak benar! Dibesarkan dalam keluarga berantakan yang melarat di Toledo Ohio, Steinem entah bagaimana berhasil kuliah di Smith College yang elit, almamater Betty Friedan. Setelah lulus tahun 1955, Steinem mendapat “Chester Bowles Student Fellowship” untuk belajar di India. Anehnya, setelah mencari di Internet tidak ada data yang berhasil ditemukan selain beasiswa itu khusus hanya diberikan kepada Steinem.
Pada 1958, Steinem direkrut oleh Cord Meyers dari CIA untuk mengatur “sekelompok aktivis informal” bernama “Independent Research Service”. Lembaga ini adalah bagian dari “Congress for Cultural Freedom” milik Meyer, yang mendirikan majalah-majalah seperti Encounter dan Partisan Review untuk mempromosikan kebaikan kelompok liberal sayap kiri untuk melawan Marxisme. Steinem, yang menghadiri festival-festival pemuda di Eropa yang disponsori Komunis, menerbitkan sebuah suratkabar dan berperan banyak dalam membantu memprovokasi sebuahkerusuhan.
Salah seorang kolega Steinem di CIA adalah Clay Felker. Pada awal 1960-an, Cley menjadi editor di Esquire dan mempublikasikan artikel-artikel karangan Steinem yang mengukuhkannya sebagai suara pembebasan perempuan. Pada 1968, sebagai penerbit New York Magazine, Clay mempekerjakannya sebagai contributing editor, dan kemudian editor Ms. Magazine pada 1971. Warner Communications menyediakan hampir semua uang walaupun hanya menguasai 25% sahamnya. Penerbit pertama Ms. Magazine sendiri adalah Elizabeth Forsling Harris. Ia adalah seorang eksekutif humas yang memiliki koneksi dengan CIA sekaligus yang merencanakan rute iring-iringan mobil John Kennedy di Dallas. Meski memiliki citra anti penguasa, Ms. Magazine memasang iklan dari korporat terbaik Amerika. Ia memasang iklan ITT pada waktu yang bersamaan dengan penyiksaan tahanan politik perempuan di Chile oleh Pinochet, setelah sebuah kudeta yang dibangkitkan oleh konglomerat AS dan CIA.
Hubungan pribadi Steinem juga mengingkarkan sikapnya yang berpura-pura anti penguasa. Dia menjalin hubungan selama sembilan tahun dengan Stanley Pottinger, asisten jaksa agung di masa Nixon-Ford, yang memperlambat penyelidikan FBI dalam pembunuhan Martin Luther King, dan dengan mantan Menteri Luar Negeri Chile Orlando Latelier. Pada 1980-an, dia berkencan dengan Henry Kissinger.
Kesalahpahaman utama kita tentang CIA adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.
Fungsi dari komplotan internasional ini adalah melemahkan institusi-institusi dan nilai-nilai di AS demi mengintegrasikannya ke dalam negara global yang akan mereka atur lewat PBB. Dalam Piagam Pendiriannya tahun 1947, CIA dilarang terlibat dalam aktivitas dalam negeri. Namun ini tak pernah menghentikannya dari mengobarkan perang psikologis terhadap rakyat Amerika. Rekan “Congress for Cultural Freedom” di dalam negeri adalah “American Committee for Cultural Freedom”. Memakai yayasan-yayasan sebagai saluran, CIA mengendalikan diskursus intelektual pada 1950-an dan 1960-an, dan saya yakin ia masih berbuat demikian hingga hari ini. Dalam The Cultural Cold War, Francis Stonor Saunder memperkirakan bahwa seribu buku diproduksi di bawah terbitan berbagai pers komersial dan universitas, dengan subsidi tersembunyi.
“Proyek Mockingbird” CIA melibatkan infiltrasi langsung ke dalam media, ya sebuah proses yang acapkali meliputi pengambilalihan langsung media-media besar. “Pada awal 1950-an,” tulis Deborah Davis dalam bukunya, Katherine the Great, “CIA menguasai anggota-anggota terhormat New York Times, Newsweek, CBS, dan sarana komunikasi lain, plus wartawan lepas, yang totalnya berjumlah empat ratus sampai enam ratus [wartawan lepas].”
Kemudian pada tahun 1982, CIA mengaku bahwa reporter-reporter dalam daftar gaji CIA bertindak sebagai petugas kasus (case officer) untuk agen lapangan. Philip Graham, penerbit Washington Post, yang menjalankan operasi hingga dia “bunuh diri” pada 1963, membual bahwa “Anda bisa mendapatkan jurnalis yang lebih murah daripada gadis panggilan cantik, dengan [upah] beberapa ratus dolar sebulan.”
Saya lahir pada tahun 1949. Orang-orang idealis di generasi orangtua saya kecewa saat impian persaudaraan universal yang dicanangkan Komunis ternyata merupakan kedok untuk [mendirikan] despotisme brutal. Generasi saya sendiri mungkin menemukan bahwa insting terbaik kita juga telah dimanipulasi dan dieksploitasi. Ada bukti bahwa budaya kedai narkoba tahun 1960-an, pergerakan hak-hak sipil, dan pergerakan anti perang, seperti feminisme, diatur oleh CIA. Contohnya, CIA telah mengakui mendirikan National Student Association (NSA) sebagai kedok pada tahun 1947 (www.cia-on-campus.org). Pada awal 1950-an, NSA menentang upaya House Un American Activities Committee untuk membasmi mata-mata Komunis. Menurut Phil Agee Jr., petugas-petugas NSA berpartisipasi dalam aktivitas SNCC, kelompok hak sipil militan, dan Students for a Democratic Society, kelompok perdamaian radikal.
Menurut Mark Riebling, CIA juga mungkin telah menggunakan Timothy Leary. Sudah pasti dinas tersebut mendistribusikan LSD (lysergic acid diethylamide), sebuah narkoba halusinogenik yang sangat kuat kepada Leary dan pembuat opini lainnya di tahun 1960-an. Leary membuat satu generasi Amerika berpaling dari partisipasi aktif di masyarakat dan mencari kepuasan “di dalam” diri mereka sendiri. Dalam contoh lain penggunaan narkoba oleh CIA untuk mencampuri politik dalam negeri, Gary Webb menggambarkan bagaimana pada 1980-an CIA membanjiri kawasan-kawasan minoritas kulit hitam dengan kokain.
Saya tak akan berusaha menganalisa motivasi CIA selain mengatakan apa persamaan di antara mereka: Mereka mendemoralisasi, mengasingkan, dan memecah-belah warga Amerika. Elit beroperasi dengan memupuk perpecahan dan konflik di dunia. Jadi, kita tidak menyadari siapa musuh sesungguhnya. Untuk alasan yang sama, CIA dan yayasan milik elit juga mendanai keberagaman dan pergerakan multikultur.
Feminisme telah menimbulkan kerusakan parah. Tak ada hubungan yang lebih fundamental, tapi halus, di masyarakat selain hubungan antara pria dan wanita. Padanya keluarga, sel darah merah masyarakat, bersandar. Tak ada orang yang memperhatikan kepentingan masyarakat yang mau mencoba memecah-belah pria dan wanita. Tapi kebohongan bahwa pria mengeksploitasi wanita telah menjadi opini resmi.
Pria mencintai wanita. Insting pertamanya adalah memelihara (“husband”) (arti kata husbandry adalah pertanian/peternakan/pemeliharaan sumber daya—penj) dan melihatnya tumbuh. Ketika bahagia, wanita tampak cantik. Tentu, beberapa pria bersifat kasar. Tapi mayoritas menopang dan menuntun keluarga mereka selama bermilenium-milenium.
Kaum feminis berkeras hati memajukan ide bahwa karakteristik bawaan pria dan wanita kita, yang krusial untuk pertumbuhan kita sebagai manusia, hanyalah “stereotipe”. Ini fitnah keji terhadap semua masyarakat heteroseksual, [yang mengisi] 95% populasi. Berbicara tentang kebencian! Tapi diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar! Digaungkan di media. Lesbian seperti Rosie O’Donnell dimajukan sebagai role model.
Semua ini dikalkulasi untuk menciptakan kebingungan pribadi dan menebarkan chaos di antara masyarakat heteroseksual. Alhasil, jutaan pria Amerika dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi [pertumbuhannya] dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.
Feminisme adalah penipuan besar-besaran yang dilakukan terhadap masyarakat oleh elit pemerintahnya. Itu dirancang untuk memperlemah struktur sosial dan budaya Amerika dalam rangka mengenalkan New World Order sebagai sebuah fasisme yang ramah. Para pendukungnya adalah orang-orang berlagak suci yang menjadi kaya dan berpengaruh darinya. Mereka meliputi golongan pendusta dan timpang moral yang bekerja untuk elit dalam beragam kapasitas: pemerintahan, pendidikan, dan media. Para penyamar ini harus dibongkar dan dicemooh.
Penindasan terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana mestinya. HinggaGloria Steinem dan CIA datang bersama-sama.
“Pada tahun 2000, saya harap kita akan membesarkan anak-anak kita untuk meyakini potensi manusia, bukan Tuhan.”
“Mempercayai sesuatu yang ada sekarang sebagai ganti kehidupan setelah mati adalah luar biasa menipu, jika Anda membayangkannya. Bahkan korporasi-korporasi dengan semua sistem penghargaanya tidak mencoba menjadikannya hadiah anumerta.”
(Gloria Steinem, aktivus hak-hak perempuan)(Pz/just-another-inside-job/Unseenhand)
Henry Makow Ph.D