Rabu, 02 Mei 2012

Kisah Mashuri dan Pengiriman Guru ke Malaysia

13359593651525472504

Mashuri Saleh, Menteri Pendidikan Nasional 1968-1974 (Sumber Photo : Foto Resmi Kementerian Pendidikan Nasional, Daftar Menteri-Menteri Mendiknas).


Pada malam jum’at, tepatnya Kamis sore 7 Mei 1970 setelah waktu shalat maghrib, Mashuri Saleh Menteri Pendidikan Nasional saat itu dipanggil Pak Harto ke Cendana. Mashuri adalah tetangga lama Pak Harto waktu Pak Harto tinggal di Jalan Agus Salim dulu.

Saat itu Pak Harto sudah pake kaos singlet putih dan celana pantalon hitam, santai duduk dengan sandal Bata-nya yang keliatan sudah usang. Pak Harto tertawa saat lihat Mashuri datang, Pak Harto senang dengan Mashuri, soalnya Mashuri ini pinter ambil hati Pak Harto, kerna asalnya juga dari Solo, satu kampung sama Bu Tien. Kalau bicara lucu, dengan logat Solo-nya yang kental. Entahlah kenapa setelah lepas jabatan Menteri, Mashuri tampaknya berposisi agak melawan arus Suharto.



Sore itu Mashuri disuguhi pisang goreng dan teh manis hangat. Pak Harto berbasa basi sebentar, lalu Pak Harto memulai bicara soal kemungkinan mengirim guru-guru ke Malaysia. Keinginan Pak Harto membantu Malaysia ini didorong oleh rasa persahabatan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sedang jadi pokok utama pemikiran Suharto soal ASEAN. Beda dengan Bung Karno yang menghendaki Asia Tenggara jadi suatu zona yang dominan dalam politik Asia dan menjadi kekuatan dunia dengan Indonesia sebagai lokomotif kekuatan Asia Tenggara, maka Pak Harto lebih menghendaki harmoni, tidak saling mengganggu antara kepentingan nasional negara masing-masing.


Pengiriman guru-guru ke Malaysia, sebelumnya pernah dilakukan di masa Menteri Pendidikan Prof. Prijono. Saat itu Malaysia masih bernama Malaya. Setelah Inggris berinisiatif menjadikan Kalimantan Utara sebagai bagian dari negara federal Malaysia maka Indonesia memutuskan perang dengan Malaysia, karena tak rela Kalimantan Utara menjadi semacam proxy kolonialisme Inggris dengan Malaysia sebagai negara boneka Inggris. Pengiriman guru berhenti.


Setelah Gestapu 65, peta politik berubah. Suharto yang memegang kekuasaan ingin situasi harmoni di antara negara-negara ASEAN. Suharto merasa Malaysia kemajuannya kurang dibidang pendidikan, sementara Indonesia amat maju sekali, setelah Indonesia merdeka, hampir setiap enam bulan berdiri Universitas, setiap provinsi membangun pendidikannya. Suharto menjadikan pendidikan nasional sebagai sokoguru paling utama dalam negara Orde Baru.



“Mas, saya ingin kirimken banyak guru ke Malaysia, tapi secara teratur bagaimana?” kata Pak Harto dengan nada lembut sambil menatap ke Mashuri.



“Wah, bisa itu. Arahnya bagaimana ini Pak Harto?”


“Saya pikir dunia pendidikan lebih maju daripada Malaysia, saya lihat banyak ya dosen-dosen Amerika yang ada disini, dulu saya ingat Pak Kahin ada di Yogyakarta jaman saya jadi bawahan Pak Dirman. Saya pikir bagaimana kalau guru akan jadi sumber ekspor tenaga terdidik yang juga akan mengenalkan keluhuran bangsa kita”.



Mashuri mengangguk-angguk. Pandangan Pak Harto ini amat sederhana yaitu menjadikan guru sebagai tenaga intelektual terdidik yang bisa diekspor ke banyak negara. Namun sebenarnya strategis, yaitu dengan ekspor guru ke banyak negara maka Indonesia bisa dikenalkan dalam berbagai macam peradaban yang dikembangkan banyak negara.


Apa yang dilakukan Suharto ini merupakan pandangan visioner pemimpin negara tentang konteks kemanusiaan dan pendidikan, walaupun Suharto menciptakan sistem pedagogis yang doktriner terutama di bidang pendidikan sosial kemasyarakatan, namun di bidang Ilmu pasti Alam, Indonesia sangat maju dibawah Orde Baru. Bidang keilmuan Pasti-Alam jadi bintangnya pembangunan pendidikan Orde Baru, di bidang itulah Malaysia diajari Indonesia.


Sayang apa yang dikembangkan Suharto gagal dilakukan bangsa ini lebih lanjut, bangsa ini tidak mampu membaca arah perkembangan jaman. Padahal kepemimpinan bangsa bisa membentuk satu entitas yang memperhatikan tenaga terdidik untuk diekspor ke luar negeri, di saat ini 30% bangsa masih pada tahap negara berkembang. Guru-guru Indonesia sebenarnya mampu mengirimkan sumber daya-nya dan dibayar mahal untuk mendidik bangsa lain.


Kebangkrutan moral dan tak ada arahnya kita saat ini adalah berkembangnya demokrasi parlementer yang berbasis uang, sehingga hal-hal yang berorientasi kebangsaan jadi gagap. Walaupun Suharto masih amat jauh dibawah Bung Karno dalam soal visi membentuk bangsa, namun apa yang dilakukan Suharto adalah bagian dari pembentukan nasionalisme ke arah peradaban dunia, mengirimkan ribuan guru dan dosen ke Malaysia sehingga Malaysia masuk ke dalam alam modern-nya diantar oleh Bapak dan Ibu Guru dari Indonesia, kini bangsa Malaysia malah menendangi kepala-kepala orang Indonesia tanpa mau melihat sejarah.



Sekitar jam 7 malam, Mashuri pamit pulang. Pak Harto mengantarkan Mashuri sambil tertawa. Mashuri hanya ingat terakhir yang diucapkan Pak Harto “Jaga baik-baik pengiriman guru ke Malaysia”.


Dan ribuan guru dikapalkan ke Malaysia……..


Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto