Jumat, 04 Mei 2012

Ketika Panggilan Tuhan Itu Diributkan

Tiba-tiba azan menjadi bahan diskusi publik, dibicarakan di berbagai tempat yang berujung kepada pertanyaan, ada apa tiba-tiba Wapres Boediono-- tatkala membuka Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta--dalam pidatonya menyebut adzan, panggilan Tuhan, untuk sholat bagi umat Islam itu.

"Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Kita semua sangat memahami bahwa adzan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban sholatnya," kata Wapres Boediono.

Ia melanjutkan,"Namun demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita."

"Al-Quran pun mengajarkan kepada kita untuk merendahkan suara kita sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjuk-Nya," katanya lagi.

Penggalan pidato itulah yang berbuah penilaian beragam di masyarakat. Ketua Takmir Masjid Agung Al-Azhar, Nasrul Hamzah, mempertanyakan motif Wakil Presiden Boediono yang mengeluhkan suara adzan yang keras.

Ia mengatakan, azan itu merupakan alat untuk memanggil umat Muslim menunaikan ibadah sholat. "Terus terang kita tidak bisa memahami pernyataan Wapres. Ini adalah hal yang sensitif dan bisa memiliki banyak tafsiran,” kata Nasrul seperti dikutip sebuah surat kabar, Senin (30/4).

Mantan Bupati Pandeglang Dimyati itu menilai, Wapres lebih baik mengurus hal-hal yang lebih penting ketimbang urusan yang telah menjadi bagian dari syariat agama serta kultur.

Urusan itu telah menjadi kepastian dalam pelaksanaannya. Sehingga untuk mengubahnya sangat riskan dan berisiko menimbulkan pro kontra masyarakat.

"Lebih baik memberikan masukan positif untuk kegiatan di masjid, jangan speakernya yang dikomentari," tegas Dimyati.

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat Prof Dr H Muhammad Baharun termasuk salah satu tokoh yang menolak wacana Boediono tersebut. Menurut Muhammad Baharun, wacana yang dilontarkan oleh Boediono itu tidak bisa diterapkan di Indonesia.

"Tidak bisa. Karena tradisi umat Islam azan itu adalah syiar dan harus dilantunkan dengan syahdu dan keras, sehingga menggunakan pengeras suara untuk azan memang layak dilakukan. Azan memang harus begitu," kata Baharun, Ahad (29/4).

Jubir Wapres

Jubir Wapres, Yopie Hidayat, menolak mengomentari soal azan itu. Ia melihat bahwa hal itu telah dipolitisasi pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai Wapres Boediono.

"Saya menolak berkomentar terkait isu tersebut," kata Yopie seperti dikutip sebuah media nasional. Pernyataan terkait pengunaan speaker di masjid-masjid tersebut hanyalah sebatas saran Boediono agar didiskusikan.

Sebelumnya Yopie meminta semua pihak tidak mempolitisasi pidato Wapres Boediono saat membuka Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) ke-6 di Asrama Haji Pondok Gede, Jumat (27/4) pagi.

Amidhan, salah seorang pengurus MUI tak mau terlalu jauh untuk berspekulasi perihal motif wapres meminta agar suara azan tidak terlalu keras. Ia menduga, keluhan Wapres ini mungkin ada kaitannya karena memperoleh keluhan dari pihak lain. "Mungkin saja korps diplomatik," ujarnya.

Amidhan memahami tempat kediaman Wapres itu berada di dekat masjid Sunda Kelapa. Namun, sebagai fungsi tanda waktu sholat dan panggilan agar sholat berjamaah, ia menegaskan, tentunya tidak bermasalah jika harus dikeraskan.

"Kalau (azan) itu dilamatkan, tidak keras, ya nanti fungsi (dari azan) itu menjadi hilang," katanya.

Positif

Sekretaris Ditjen Bimas Islam, Drs. H. Abdul Karim, MM, meminta kepada semua pihak agar menanggapi secara positif terkait pidato Wakil Presiden Boediono mengenai azan yang menggunakan pengeras suara di masjid-masjid saat memberikan sambutan pada Muktamar ke-6 Dewan Masjid Indonesia beberapa waktu lalu.

Abdul Karim menegaskan bahwa tidak ada masalah dengan azan sebagai panggilan suci untuk menunaikan shalat. Wapres hanya menyampaikan usul kepada peserta muktamar DMI untuk mengkaji suara azan yang menggunakan pengeras suara agar tujuan azan memanggil umat untuk beribadah dapat merasuk ke sanubari.

Bukankah Rasulullah menganjurkan para Muazin yang memiliki suara indah dan merdu seperti sahabat Bilal? Nah, konteks inilah yang dimaksud Wapres. Apalagi di daerah perkotaan yang penduduknya heterogen, sehingga soal azan ini tidak perlu diperpajang, toh telah ada aturan Dirjen Bimas Islam soal ini. Intinya, soal azan itu saling pengertian dan pastinya memberi manfaat kepada masyarakat sekitar masjid, ujarnya.

Bahkan, lanjut Karim, ia memiliki pengalaman pribadi terkait isu yang sedang hangat dibicarakan masyarakat Indonesia saat ini. Suatu ketika, Abdul Karim menjalankan hobinya, yakni bersilaturahim ke tetangga, disana Karim sangat terkejut karena menurut pengakuan tetangganya yang non muslim justeru berterima kasih karena azan yang dilakukan rutin oleh umat Islam itu nyaring hingga sampai ke telinganya.

"Mereka justeru berterima kasih karena dibantu dengan suara azan (subuh-red), mereka bisa lebih awal mengerjakan sesuatu," tutur Karim, di Jakarta, 1/5/2012.

Baginya, pernyataan Wapres Boediono seyogianya dilihat dari sisi positifnya, selain sebagai Wapres, Karim melihat, Boediono adalah seoarang muslim sejati.

"Perlu ditegaskan, Pak Boediono itu berbicara sebagai ummat muslim dan mengajak untuk saling pengertian dengan non muslim, ini adalah suatu ajakan yang positif, saya tidak melihat beliau mempermasalahkan, tidak membuat masalah, juga bukan ingin mengatur azan," terangnya.

Karim mengajak kepada semua pihak agar hal-hal yang seperti itu tidak perlu lagi dipermasalahkan dan dijadikan masalah. "Saling memahami, pengertian, dan saling menghargai itu yang sejatinya kita kedepankan," ujarnya.

Kegiatan yang menggunakan pengeras suara di masjid, semacam takhrim adzan dan yang lain, menurut Karim, adalah satu nilai kelebihan yang dilakukan umat beragama dan dianggap sebagai nilai-nilai yang harus dikembangkan di dalam umat Islam.

"Hanya saja di dalam kehidupan bermasyarakat perlu ada satu kesepakatan yang di bangun oleh warga dalam menciptakan kehidupan yang harmonis melalui musyawarah mufakat warga lingkungan, bagaimana kesepakatan di lingkungan tersebut," pesan pria yang dikenal kedisiplinannya ini.

Sebelumnya, Wapres juga berpesan agar masjid dijaga agar jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan tidak Islami seperti radikalisme, fanatisme, permusuhan terhadap agama serta kepercayaan orang lain, dan anjuran provokatif yang bisa berujung pada kekerasan dan terorisme.

Harus keras

Mantan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni akhirnya ikut mengomentari dan meluruskan pemahaman tentang azan yang dikumandangkan dari sejumlah masjid, terutama menjelang pelaksanaan shalat, terkait pernyataan Wapres Boediono baru-baru itu.

"Saya setuju harus keras," kata Maftuh yang juga sebagai pengurus Masjid Agung At-Tin, Jakarta Timur, melalui telepon dari Jakarta, Selasa.

Maftuh Basyuni mengatakan seharusnya azan dikumandangkan dengan suara keras. Pihaknya setuju hal itu, katanya.

Tetapi, lanjut dia, harus diperhatikan kondisi sekitar. Seperti di Jakarta ketika menjelang subuh. Di sejumlah masjid sudah diumumkan ajakan atau imbauan kepada umat Muslim agar segera bangun untuk menunaikan Shalat Subuh. Tapi ada masjid, kadang terdengar suara canda anak kecil melalui pengeras suara, disusul dengan bacaan shalawat.

Setelah itu, kegiatan di masjid berlanjut dengan azan dengan keras melalui pengeras suara. Lantas usai shalat berlanjut dengan zikir, juga dilakukan dengan pengeras suara.

Keadaan yang seperti ini sebetulnya bisa diatur oleh pengurus masjid setempat secara bijaksana. Tentu dengan memperhatikan dan menyesuaikan kondisi lingkungan masyarakat setempat. Bisa saja, usai azan tak perlu lagi aktivitas yang ada di dalam masjid didukung dengan pengeras suara.

Jika seluruh aktivitas di dalam memakai pengeras suara, maka jelas akan mengganggu orang lain. Bahkan bagi yang sedang sakit akan merasa terganggu. Dan lebih parahnya lagi, ada orang di masjid menyetel bacaan Al Quran, sementara petugas masjidnya tidur nyenyak. Hal ini harus dihindari. Karena itu, menurut dia, baiknya setelah azan, pengeras suara lebih baik diarahkan ke dalam masjid.

Tapi yang jelas, azan - sebagai tanda panggilan bagi umat muslim untuk shalat - itu memang harus disuarakan dengan keras, katanya.

ANT