Pancasila dan Peradaban Sukarno
Pancasila itu jalan hidup, way of life, sebuah pandangan manusia Indonesia memandang dirinya dan masyarakatnya…..(Sukarno, 1957)
Sebuah bangsa harus punya landasan, dan landasan itu adalah kumpulan nilai-nilai, sebuah gagasan besar bagaimana sebuah bangsa terbentuk, tujuan-tujuan idealisme-nya dalam bermasyarakat, dan bagaimana manusia di dalamnya melihat lingkungan, penafsiran nilai-nilai ini adalah ‘Pengalaman dari Bangsa itu sendiri’.
Pancasila di Indonesia merupakan ideologi, diarahkan sebagai ‘Pandangan Hidup’, oleh Sukarno, Hatta dan banyak pendiri bangsa ini, Pancasila bukan saja titik nol dalam berbangsa tapi ia juga garis lurus terus menerus dalam membentuk bangsa yang ideal.
Mendalami Pancasila sebenarnya juga mendalami ‘kerangka pemikiran Sukarno’ dalam melihat hubungan antara manusia dengan kemanusiaan, lingkungan, manusia dengan ekonominya, manusia dengan masyarakatnya, manusia dengan permufakatannya dan manusia dengan Tuhannya, hubungan-hubungan inilah yang kemudian dijadikan oleh Sukarno sebagai ‘sebuah jalan pengalaman hidup’.
Bagaimana Sukarno Membentuk Kerangka Dasar Pemikirannya?
Awal pengertian Sukarno dengan politik itu ada dua : Pengaruh Wayang dan Pengaruh Islam, dalam wayang Sukarno terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Jawa kuno, juga tak lepas dari legenda-legenda kekuasaan di Tanah Jawa mulai Majapahit sampai Mataram. Kemudian Sukarno juga terpengaruh oleh gagasan awal Pan Islamisme yang saat itu memang sedang marak dalam wacana ‘kebangkitan Kekhalifahan Turki’ untuk menandingi gerakan Nasionalisme model Kemal Attaturk. Pengaruh terbesar Sukarno dalam membentuk Nasionalisme adalah ketika ia atas perantaraan kawannya Sosrokardono dikenalkan ke dokter Tjiptomangunkusumo yang merupakan sahabat Raden Mas Djojopanatas, RM Djojopanatas ini adalah ayah dari Siti Larang sekaligus mertua dari Sosrokardono. Perkenalan dengan Tjipto di tahun 1922 membawa pemikiran paling baru Sukarno bagaimana sebuah KeIndonesiaan terbentuk.
“Nasionalisme, kebangsaan adalah sebuah cita-cita bersama tanpa memandang bentuk agama, budaya dan perbedaan-perbedaan lain, kerangka masyarakat yang bertujuan untuk membentuk satu peradaban baru, menghadapi modernitas, tantangan jaman, bersama-sama melihat persoalan yang sama-sama dihadapi, sehingga bangsa itu memiliki tujuan jelas baik dalam melihat masalah maupun berkelahi terhadap masalah”. Kata dokter Tjipto kepada Bung Karno pertama kali mereka berdiskusi pada satu sore, Sukarno yang selalu memanggil Dokter Tjip sebagai ‘Sep-ku’ (My Chief) atau ‘Pemimpinku’ bertanya lagi soal bagaimana sebuah bangsa bisa terbentuk. “Sebuah bangsa, Sukarno…sebuah bangsa dibentuk oleh ide, oleh mimpimu, dan bagaimana mimpimu itu melihat, melihat oleh pengalaman realitas, kumpulan ide dan kumpulan realitas inilah yang kemudian diambil dalam membentuk sebuah bangsa, sebuah bangsa adalah konsep peradaban yang meniadakan perbedaan tapi menyatukan sebuah nasib yang ditindas, ujung dari penyatuan nasib ini adalah ‘kesejahteraan’ adalah ‘kemakmuran bersama’ atas masyarakat ideal. Sukarno dan dokter Tjipto intensif sekali berdiskusi, rumah mereka di Bandung juga berdekatan, Sukarno di Jalan Pangkur sementara Dokter Tjipto di Jalan Sumedang.
Dari pemikiran-pemikiran dokter Tjip ini, Sukarno berpikir sejak awal soal bangsa Indonesia, lalu sekembalinya ke rumahnya di Jalan Pangkur, ia merenung dari awalnya, bagaimana sebuah bangsa terbentuk, cita-cita apakah yang bisa menjadikan sekumpulan manusia terbentuk, kerangka awal sebuah bangsa, maka Sukarno suatu pagi ketika ia sedang ngopi dan sarapan peuyeum, sebelum ia berangkat ke kampusnya di THS (sekarang ITB Bandung), teringat keluhan dari Pak Tjokroaminoto “No..Sukarno, yang paling sulit dalam berorganisasi dan melakukan gerakan politik adalah ‘Mempersatukan’, persatuan inilah yang terumit”. Sukarno lantas berpikir soal ‘Persatuan’.
Apa realitas bangsa Indonesia, realitas bangsa ini dicampuri tiga soal besar : Nasionalisme, Agama dan Sosialisme. Pengaruh-pengaruh inilah yang kemudian digodok Sukarno dalam pemikiran aplikasi politik, namun ada pemikiran yang berupa kerangka abstrak sosial dan politik bangsa Indonesia, kerangka ini belum ia temukan ketika ia sedang berpikir soal kebangsaan.
Perhatian terbesar Sukarno antara tahun 1922-1930 adalah perjuangan ekonomi politik, pendefinisian ekonomi politik merupakan arsitektur dasar pembentukan masyarakat Indonesia, menciteer pemikiran Marx : “Ekonomi-lah yang melandasi seluruh alasan manusia bermasyarakat dan membentuk landasan diatasnya berupa ideologi, agama, kebudayaan dan segala macam persoalan pemikiran”. Soal Ekonomi ini yang Sukarno jabarkan dalam pidato pledoi politik di depan Hakim yang menuntut pembuangan politik kepada dirinya.
Dalam penjara baik di Banceuy ataupun Sukamiskin, Sukarno berpikir keras soal konsepsi paling awal pembebasan manusia. ‘Ternyata Pembebasan jalan kemanusiaan itu harus menempuh satu fase yang berkaitan erat dengan masyarakatnya. –Hanya saja masyarakat jenis apa yang harus dibangun untuk sebuah bangsa bernama Indonesia?’
Karena dituduh mempersiapkan pemberontakan besar dan merupakan penghasut dalam rapat-rapat politik yang sering diadakan oleh para penggerak Kemerdekaan, Sukarno divonis hukum buang ke Flores, koran-koranpun berteriak ketika Sukarno dibuang, “apa kesalahan Sukarno, ia berteriak ‘Kemerdekaan Bangsanya’ karena memang itulah takdir jalannya sejarah” kata MH Thamrin, seorang penggerak kemerdekaan dari Batavia yang paling legendaris. MH Thamrin adalah orang yang paling pasang badan dalam membela Sukarno.
Hukuman buang bagi pemuda Sukarno ke luar Jawa jelas merupakan siksaan yang menyakitkan, ia diisolosi agar pemikirannya mati, ia dikerubungi masyarakat yang gap intelektualitas-nya luar biasa berbeda, tapi beruntung bagi Sukarno ia masih bisa melakukan korespondensi dengan sahabatnya A. Hassan, salah seorang petinggi organisasi Islam, Persatuan Islam (Persis) dan Natsir, seorang intelektual muda Islam dalam korespondensi itu Sukarno menemukan Islam sebagai ‘agama yang hidup’ tidak mengenal ‘aristokrasi’. Sukarno juga mendapatkan kepuasan intelektual saat berjumpa dengan Pastor G.Huytink dan Pastor J.Bouman, para misionaris yang memiliki akses intelektual yang bagus dan berpendidikan sehingga mendapatkan lawan bicara yang imbang dalam tanah pembuangannya.
Di flores pula Sukarno membentuk tonil, atau sandiwara yang dia pentaskan setiap sebulan sekali. Sukarno melihat sebuah masyarakat sesungguhnya adalah ‘Proses untuk menjadi, sebagaimana sebuah Proses kebangsaan itu sendiri, ‘Masyarakat dan Negara adalah Panggung Teater, sehingga Masyarakat bisa menembus panggung dan membahasakan dirinya di depan dunia, sebagai bahasa dasar, nah bahasa dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘weltanschauung’ pandangan manusia pada dunia, sebuah world view, nilai-nilai world view inilah yang kemudian dipikirkan Sukarno lagi dalam pergulatan intelektual dan ruhaniahnya dalam merumuskan kategori sebuah bangsa.
Sukarno suka bertukang, ia senang menyerut kayu, ia suka sekali membuat bangku, berbagai jenis bangku ia buat, salah satu keahliannya adalah membuat kursi goyang paling enak, ada beberapa orang yang selalu membantu Sukarno dalam menyerut kayu, salah satunya adalah Riwu Ga. Kerja Sukarno tiap hari adalah membaca buku, antara jam 6 pagi sampai jam 8. Lalu ia berjalan ke sebuah pohon Sukun yang berdiri besar menghadap ke laut yang posisinya di sebelah timur rumah Sukarno. Di laut yang luas tanpa batas, udara mega membentuk gelombangnya, sapuan awan dan titik-titik kecil perahu nelayan, membuat Sukarno merasa tenang dalam berpikir. Kenangan ini ia ceritakan kepada Cindy Adams dalam sebuah buku otobiografi : Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. – “Di sana, dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang menghalangi, dengan laut biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung dan di mana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat sendirian, di sana itulah aku duduk melamun jam demi jam.” Lamunan Sukarno terhentak di satu pagi ketika melihat serombongan orang bergotong royong membangun rumah untuk seorang nenek tua, ia melihat semangat kebersamaan, pikirannya terhentak : “Nah inilah watak dasar manusia Indonesia, yang kutemui di Blitar, di Surabaya, di Solo, di Semarang, di Bandung dan dibanyak tempat lainnya, watak kerjasama dengan nilai sosial tinggi, sebuah keguyuban yang dilatari kemanusiaan” Sukarno mendapatkan pencerahan awal soal kemanusiaan “Gotong Royong, sekali lagi Gotong Royong” kata Sukarno tahun 1952 suatu saat dalam pidato-nya mengenang saat ia menemukan galian Pancasila di Flores tahun 1933.
Peradaban Sukarno adalah sebuah Peradaban yang ditujukan untuk membentuk sebuah bangsa, peradaban yang pertama-tama dilakukan adalah peradaban revolusioner, peradaban perubahan cepat, disini yang dibutuhkan keberanian untuk merebut konsesi-konsesi lahan kepemilikan yang dikuasai pihak asing, Sukarno membangun militernya, membangun kekuatan politik non kompromi pada masa ia berkuasa dan menyebut kekuasaannya itu sebagai ‘Demokrasi Terpimpin’. Lalu peradaban kedua adalah Peradaban masyarakat ideal, disini peradaban masyarakat ideal adalah peradaban saling menghargai manusia dalam bentuk perbedaan, negara ditempatkan sebagai idealisme tertinggi, sehingga setiap perbedaan dan terkena menyangkut masalah publik harus diselesaikan dalam hukum-hukum positif.
Bagaimanapun Pancasila adalah dasar paling dasar bentuk negara ini, sebuah komitmen konstitusi, kejadian sekarang yang memberangus orang beribadah, perang karena berbeda pendapat dan segala soal dimana Demokrasi Liberal gagal menyelesaikan maka Pancasila harus dikedepankan nilai-nilainya.
Pancasila bukan lagi menjadi sesuatu yang remuk redam ketika orang jaman sekarang menilai bahwa Pancasila adalah ‘pemberangusan’ karena itu Pancasila Orde Baru, Pancasila yang berubah menjadi bahasa kekerasan yang terlembaga, Pancasila ala Peradaban Sukarno adalah Pancasila yang mengedepankan penyelesaian persoalan-persoalan masyarakat.
Kesadaran ini yang ditawarkan terus menerus. Dalam Pancasila, tersimpan fase perjalanan hidup manusia : fase ia mengenal Tuhan-nya, fase ia mengenal Kemanusiaan, fase ia sadar sebagai bangsa dan berkebangsaan sehingga bersatu dalam bentuk ‘Persatuan Indonesia’, fase berdemokrasi untuk bermufakat dan fase tertinggi dalam masyarakat : Fase keadilan Sosial.
Apa yang dihidupkan dalam pemikiran Sukarno tentang Pancasila musti dipelajari oleh generasi muda, sehingga mereka tahu : “Untuk apa negeri ini didirikan”.
-Selamat Mengenang Pidato 1 Juni Pancasila 1945. Pidato yang menjadi dasar negara ini dibentuk untuk membangun peradabannya yang baru : Peradaban Indonesia, dimana taman sari spiritualitas, kemanusiaan, persatuan, permufakatan dan keadilan sosial menjadi irama yang indah dalam hubungan manusia dan negara, manusia dan bangsa.
Jakarta, 1 Juni 2012.Anton DH Nugrahanto.