Rabu, 20 Juni 2012

Cakung Gerbang Timur Jakarta, Pusat Sejarah dan Budaya Betawi (Bagian : 1


1340185945387491802

Stasiun Cakung Jalan Raya Stasiun Cakung (Pulo Gebang), Jakarta Timur, DKI Jakarta 13950 (photo: Syaifud Adidharta)



Ujung timur Jakarta yang berbatasan dengan kabupaten Bekasi-Jawa Barat, memiliki banyak cerita dan keunikannya didalam sejarah kota DKI Jakarta. Ujung timur Jakarta ini pertumbuhannya begitu pesat dengan berbagai kemajuan yang luar biasa, khususnya kemajuan di dalam peningkatan jumlah penduduknya, selain itu kemajuan atas kesemrawutan kondisi tata ruangnya.



Namun akan tetapi ujung timur Jakarta ini merupakan salah satu jantung utama gudang ekonomi bagi DKI Jakarta itu sendiri, yaitu di wilayah ini terdapat banyak pusat-pusat industri bertarap internasiona maupun nasional, selain itu juga memiliki pusat perkembangan industri perumahan yang begitu ketat kemajuannya. Sebut saja Cakung.


Sejarahnya Cakung sampai akhir tahun 1960-an atau sebelum masuk ke DKI Jakarta (1974) adalah wilayah yang hanya sebatas kurang lebih seluas kelurahan Cakung Barat, dan sebagian di kelurahan Cakung Timur. Di kedua kelurahan ini memiliki satu pusat aktifitas bisnis jual beli di Pasar Cakung, yang berada di kelurahan Cakung Barat hingga sampai sekarang.


Sebelum tahun 1950, Cakung dan juga Bekasi masuk dalam kabupaten Jatinegara, dimana kantor bupatinya adalah bekas kantor Kodim Jakarta Timur yang berada percis di depan stasiun kereta Jatinegara. Setelah Kolonel Nur Ali yang kemudian dikenal sebagai KH Nur Ali (Pahlawan Nasional) mengumpulkan masa sebanyak 50 ribuan orang berkumpul di alun-alun Bekasi, KH Nur Ali bersama masanya meminta kepada pemerintah agar Bekasi berdiri sendiri. Maka pada tahun yang sama pula akhirnya Bekasi menjadi kabupaten Bekasi terpisah dari kabupaten Jatinegara, dan sejak itu pula Cakung menjadi bagian dari kabupaten Bekasi, dengan nama Desa Gapura Muka (Gapura paling terdepan).


Kemudian pada awal tahun 1970-an Cakung adalah wilayah yang sangat indah. Di sepanjang jalan raya Cakung, yang sekarang menjadi nama jalan raya Bekasi, sepanjang jalan tersebut banyak terbentang sawah-sawah pertanian yang luas, dan di setiap pingiriran jalan raya Bekasi hanya sekali-kali terlihat beberapa rumah yang ada menyusuri setiap tepi jalan raya Bekasi tersebut. Di saat lalu itu kerukunan dan kekeluargaan warga dalam bertangga masih sangat kental, tidak seperti saat ini. Kerukunan dan kebersamaan sungguh nyaris sirna.


Bila kita memandangkan mata kearah Selatan, saat itu lapangan sepakbola yang sekarang menjadi kantor kecamatan Cakung. Dengan pandangan mata yang membentang luas, saat itu kita dinikmati pemandangan yang sangat indah, karena sepanjang mata memandang yang terlihat banyaknya hamparan sawah-sawah pertanian yang subur makmar. Sedangkan pada saat di pagi hati, kita akan disuguhkan pemandangan yang menakjubkan sepanjang sejarah tidak dapat kita lupakan, yaitu kita akan menyaksikan indahnya pemandangan Gunung Gede yang menjulang tinggi berwarna biru kehijau-hujauan. Pada setiap pagi hari hingga siang hari dalam kondisi cuaca cerah, Gunung Gede terlihat menghiasi suasana Cakung di kala itu. Selain itu kita kerap kali akan disuguhkan suara-suara lintasan lereta api setiap satu jam sekali yang terdengar jelas sayub-sayub di telinga.



1340185923675453659

Seni Budaya Betawi Takkan Luntur di Hati Masyaratakat Cakung (Photo: Syaifud Adidharta)



Di zaman sebelun kemerdekaan Republik Indonesia, Cakung salah satu daerah lintasan yang strategis, karena Cakung berbatasan dengan Jakarta. Dan pada awal abad ke 19 bersamaan dengan dibangunnya jalur lintasan kereta api oleh pemerintah Belanda (1908), Belanda mulai membangun jalan-jalan penghubung yang menghubungkan jalan raya Cakung - Bekasi dengan stasiun kereta api Cakung (terletak di keluraan Pulo Gebang- Cakung hingga sampai saat ini).



Cakung bagi pemerintahan Belanda pada awal abad ke 19 tersebut adalah wilayah yang sangat penting untuk jalur bisnis dan perluasan kekuasaannya saat itu. Dan Cakung bagi pemerintahan Belanda adalah wilayah penting yang menjadi titik pertemuan Barat (Jakarta) dan Timur (Bekasi-Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur). Di arah Selatan Cakung, terdapat jalur kereta api yang dibangun Belanda, jalur kereta api tersebut menghubungai jalur-jalur wilayah Jakarta, Bekasi - Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan arah Utara Cakung, adalah jalur penghubung kewilayah Cilincing, pelabuhan Tanjung Priok.


Jalan-jalan raya yang dibangun oleh pemerintah Belanda pada awal abad ke 19 tersebut yang berada di Cakung, adalah jalan-jalan yang dapat diakses untuk menghubungkan wilayah-wilayah Pulo Gebang, Buaran Ujung Krawang. Sedangkan jalan raya Penggilingan Cakung yang juga dibangun oleh pemerintah Belanda, jalan ini saling menghubungkan wilayah satu dengan lainnya, termasuk jalan pintu gerbang pertemuan jalan raya Cakung - Bekasi ( jalan raya Bekasi). Namun sangat disayangkan pada saat pelaksanaan pembangunan dalam perjalanannya, jalan-jalan tersebut tidak sempat mengalami pengaspalan, pasalnya pada saat itu begitu cepat terjadi meletusnya perang menegakan kemerdekaan Republik Indonesia oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tahun 1945. Untuk menghubungkan wilayah Cakung dengan daerah yang berada di wilayah utara Cakung (Cilincing - Pelabuhan Tanjung Priok), Belanda membangun jalan Cakung Cilincing (berada di Kampung Baru-Semper-Cakung), dan jalan inipun seharusnya pada saat itu sudah terpondasi dengan batu kali, akan tetapi pekerjaannyapun tidak terburu selesai, karena mengalami nasib yang sama. Dan hingga di tahun 1974 jalan-jalan tersebut masih berbatu untuk dilalui masyarakat Cakung dan sekitarnya, kala itu.


Sementara itu Pasar Cakung pada awalnya pada masa penjajahan Belanda terletak percis di depan pintu tol Cakung Barat (Sebelum dibangunnya jalur tol Cakung Cikampek saat ini). Setelah dibukanya jalan-jalan Cakung - Cilincing - Semper oleh pemerintah kolonial Belanda, Pasar Cakung dipindahkan letaknya percis di tepi jalan raya Bekasi hingga sampai saat ini.


Dengan kondisi Cakung yang central tersebut, maka tidaklah aneh bila Cakung menjadi central (Pusat) aktifitas bisnis, termasuk juga menjadi pusat kebudayaan. Misalnya di seberang Pasar Cakung kala itu, kolonial Belanda membangun pusat militernya (saat ini menjadi asrama keluarga besar TNI-AD dan gudang logistik TNI-AD/Palad TNI-AD Zeni). Di sekitar Pasar Cakung, kolonial Belanda juga membangun sumur bor (lokasinya tepat di pertigaan sudut jalan raya Bekasi dan Penggilingan Cakung). Sumur bor ini digunakan oleh Belanda untuk untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah kemerdekaan sumur bor yang dibangun kolonila Belanda dimanfaatkan oleh warga Cakung dan sekitarnya. Namun sangat disayangkan saat ini sumur bor sejarah tersebut sudah menghilang, dibangun industri dan perumahan penduduk asli Cakung serta pendatang hingga sekarang.



Menjamurnya mall dan pusat perbelanjaan modern makin memudahkan masyarakat untuk memperoleh barang dengan mudah dan murah (photo : Syaifud Adidharta)

Menjamurnya mall dan pusat perbelanjaan modern makin memudahkan masyarakat untuk memperoleh barang dengan mudah dan murah (photo : Syaifud Adidharta)



Cakung di masa lampau tersebut dahulu juga menjadi pusat kesibukan banyak orang dari berbagai daerah Jakarta, Bekasi dan daerah-daerah diluar Jawa Barat lainnya, yaitu pusat bisnis dan perdagangan yang luar biasa, tepatnya di Pasar Cakung. Pasar Cakung inipun sebagai pusat perdagangan sembako, tekstil dan perlengkapan lainnya bagi masyarakat Cakung dan sekitarnya.



Ketika terjadi agresi militer Belanda yang pertama dan kedua pada tahun 1947, Pasar Cakung dijadikan markas besar tentara NICA (pasukan sekutu dari Inggris), saat itu Belanda membonceng NICA. NICA membangun barak-barak militernya dan membangun beberapa menara pengintai disekitar Pasar Cakung, termasuk membangun menara pengintai diseberang Pasar Cakung bersebrangan dengan jalan raya Bekasi, hal itu disebut pula menjadi CAKUNG RANGGON.


Pertempuran akhirnya berkecamuk dengan dasyatnya terjadi di wilayah Cakung yang kemudian melahirkan seorang sejarah perjuangan, seorang pejuang yang berani dan tangguh saat itu yang didukung beberapa pengikutnya bertempur melawan sekutu dan Belanda. Tokoh pejuang tersebut yang lebih dikenal oleh masyarakat Cakung dan bangsa Indonesia, bernama Komarudin. Kemudian nama beliau diabadikan sebagai bukti sejarah perjuangannya yang begitu gagah berani, namanya dijadikan nama sebuah jalan di Cakung, yaitu jalan Komarudin, tepatnya di kampung Buaran Cakung.


Komarudin adalah seorang pemuda asli putra Cakung yang memiliki keberanian menentang segala kekejian penjajahan (tentara sekutu dan Belanda saat itu). Disaat pertempurannya, Komarudin tewas terkena hantaman metraliun dari tentara sekutu dan Belanda.


Sejarah perjuangan pahlawan Komarudin, bagi masyarakat Cakung tidak hanya diabadikan namanya di salah satu jalan di Cakung, nama beliau juga selalu diabadikan pada setiap acara-acara sejarah dan turnamen olahraga, khususnya turnamen sepakbola di Cakung, yaitu Kompetisi Sepakbola Cakung Piala Komarudin.


Meskipun setiap penyelenggaraan turnamen sepakbola dan kegiatan-kegiatan sejarah lainnya yang diadakan di Cakung untuk mengenang perjuangannya, bagi masyarakat Cakung penduduk asli maupun pendatang sangat menghargai dan atusias mengadakannya, bahkan mereka tidak sungkan-sungkan kerapkali meneteskan air mata mengenang jasa-jasa Komarudin untuk kebesaran nama Cakung. Komarudin pahlawan Nasional putra Cakung asli yang memiliki kepribadian yang tinggi, sederhana dan supel dalam pergaulan oleh siapapun, beliau tidak pernah memandang perbedaan selama masih dalam jalan perjuangan bangsa ini. Komarudin putra asli Cakung juga begitu kuat dan kentalnya menjalankan dan melaksanakan ibadah didalam agamanya, Islam. Beliau sampai sekarang menjadi panutan masyarakat Cakung dan sekitarnya.


Syaifud Adidharta