Awalnya cikal bakal kota ini adalah beberapa kampung seperti Cikole dan . Setelah jatuh ke tangan Mataram daerah ini berada dalam kekuasaan VOC pada 1677 sebagai balas jasa VOC membantu Sunan Amangkurat II menumpas pemberontakan Tarunajaya. Kawasan ini awalnya tidak punya arti ekonomis bagi VOC, sampai ketika kopi jadi komoditi penting.
Mulanya tanaman kopi diperkenalkan di Jawa pada 1696 dikembangkan di sekitar Benteng Batavia oleh Gubernur Jendral Van Out Hoorn (1681-1704). Pada masa kekuasaan Gubernur berikutnya Van Hoorn (1704-1709) bibit kopi diserahkan kepada bupati di Priangan dan Cirebon. Hasilnya pada 1711 Bupati Cianjur Wiratanu Datar memetik panen pertama. Wilayah perkebunan kopi diperluas ke sekitar Bogor, Cianjur dan Sukabumi
Komoditas kopi banyak dibutuhkan VOC, Van Rie Beek dan Zwadecroon berusaha mengembangkan lebih luas tanaman kopi disekitar Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Pada 1709 Gubernur Van Riebek mengadakan inspeksi ke kebun kopi di Cibalagung (Bogor), Cianjur, Jogjogan, Pondok Kopo, dan Gunung Guruh Sukabumi. Pada 1786 VOC membangun jalan setapak yang bisa dilalui kuda dengan rute Batavia-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung.
Tiga tahun kemudian seorang pengusaha Belanda bernama Pieter Engelhard membuka perkebunan kopi di lereng Tangkuban Perahu. Lokasi perkebunan itu tepatnya di tanjakan Jl. Setiabudhi (sekarang Ledeng-UPI). Hasil yang paling memuaskan baru diperoleh th. 1807, setelah Engelhard mengerahkan ratusan penduduk pribumi.
Jenis kopinya merupakan kopi unggul yang kemudian laku di pasaran Eropa dengan brand JAVA KOFFIE. kopi ini menggantikan kopi pahit-buruk dan tidak enak yang banyak dihidangkan le mauvais Cafe de Batavia (kopi buruk di Batavia) di awal abad ke-18. (Haryoto Kunto,Bandoeng Tempo Doeloe).
Perkembangan paling penting terjadi pada 25 Januari 1813 ketika seorang ahli bedah bernama Dr. Andries de Wilde membeli tanah yang meliputi 5/12 wilayah yang kini meliputi Kabupaten Sukabumi dengan harga 58 ribu ringgit Spanyol. Batas tanahnya di Timur Sungai Cikupa, selatan Sungai Cimandiri, Utara lereng Gunung Gede angrango dan batas ke barat Batavia dan Bogor.
Pada 8 Januari 1815 Cikole dinamakan Sukabumi. . Kota yang saat ini berluas 48,15 km2 ini asalnya terdiri dari beberapa kampung bernama Cikole dan Paroeng Seah, hingga seorang ahli bedah bernama Dr. Andries de Wilde menamakan Soekaboemi. Awalnya ia mengirim surat kepada kawannnya Pieter Englhard mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mengganti nama Cikole. Kata Soekaboemi berasal dari bahasa Sunda soeka-boemen yang bermakna udara sejuk dan nyaman, dan mereka yang datang tidak ingin pindah lagi karena suka dengan kondisi alamnya.
Selain kopi, perkebunan the juga mendorong arti ekonomis kawasan Sukabumi. Penanaman the pertama kali dimulai pada 1824 di sekitar Bogor, Cikajang,Parakan Salak, Ciumbuleuit, Sinagar, Cicurug dan Parakan Salak. Pada 1844 Gubernur Jendral Van Der Hucht memperluas perkebunan teh di Parakan Salak ini yang mempunyai ketinggian antara 625 hingga 950 meter dan di sekitar Gunung Endut pada ketinggian 1474 meter.
Perkebunan teh di kawasan Parakan Salak ini dibeli oleh keluarga Holle, sementara perkebunan di Sinagar (Nagrak) dibeli oleh keluarga Hogeven. Priangan kemudian memang jadi wilayah perkebunan the. Pada 1865 anak sulung de Holle bernama Karel Frederik Holle membuka perkebunan the Waspada pada 1865 di bayongbong, Garut. Pengusaha the bermunculan dari berbagai keluarga, misalnya Keluarga Van Der Huchts, De Kerkhovens, Van Motman,de Boscha’s dan sebagainya. Hingga akhir masa Hindia Belanda terdapat 81 perkebunan teh di wilayah Priangan.
Bertepatan dengan berlakunya Undang-undang agraria pada 1870, maka pada 10 September 1870 diangkat seorang Patih dan seorang asisten Residen untuk memerintah Sukabumi. Daerah Sekabumi naik statusnya menjadi afdeeling. Wilayah ini kemudain dibagi menjadi sejumlah distrik seperti Distrik Gunungparang, Distrik Cimahi, Distrik Cicurug, Distrik Ciheulang, Distrik Pelabuhan Ratu, Distrik Jampang Tengah dan Distrik Jampang Kulon.
Para Patih yang memerintah Sukabumi semasa afdeeling antara lain Patih Aria Wangsa Reja yang diangkat berdasarkan Statblad No,121 Tahun 1870 tertanggal 10 September 1870. Selanjutnya yang menjadi patih Sukabumi adalah Aria Kartareja, Patih Aria Kartakusumah, Patih Suryanatalegawa, Patih Suryanapamekas (menjabat pada 8 Oktober 1905), Patih Suryaningrat dan Patih Suryanatabrata 1913-1921.
Pada 1 Juni 1921 status Sukabumi naik lagi menjadi Kabupaten dengan Patih Suryanatabrata menjadi Bupati pertama hingga 1930. Secara hukum tata negara hari jadi Kabupaten Sukabumi pada 1 Juni ini. Bupati kedua adalah Bupati RTA Surya Danoeningrat yang merupakan Bupati terakhir masa Hindia Belanda hingga 1942. Pada masa pendudukan Jepang RTA Surya Danoeningrat ini tetap menjabat menjadi Bupati sampai masa kemerdekaan.
Perkembangan Kota dan Gaya Hidup
Seperti halnya kota-kota lain masa Hindia Belanda pada abad ke 20 surat kabar lokal pun bermunculan. Yang menarik salah satu surat kabar tertua yang terbit di Sukabumi ialah Li Po yang diterbitkan peranakan Tionghoa tetapi berbahasa Melayu. Surat kabar itu terbit mingguan setiap hari Sabtu dengan redaktur seperti Tan Giong Tiong da Yoe Tjan Siang. Edisi pertama tertanggal 3 Januari 1903.
Umumnya berita-berita yang disajikan berkaitan dengan agama Katolik dengan dukungan iklan dari perniagaan. Iklan yang ada dalam surat kabar itu sudah mengisyaratkan gaya hidup orang kota masa itu, misalnya pemakaian air wangi untuk menghilangkan bau badan, hingga iklan obat. Terdapat juga sejumlah iklan menjual mesin penggilingan beras hingga pemasangan lotre.
Pada 1921 sebagaiman dilaporkan oleh L. de Steurs (Residen Priangan) tanggal 2 Januari 1921, di Sukabumi telah berdiri dua buah zendingschool dan sebuah sekolah partikelir yang bernama Hollandsch-Chineescheschool. Pada masa Hindia Belanda pada 1910-an didirikanlah Sekolah-sekolah rakyat di Kota Sukabumi, diantaranya adalah Sekolah Rakyat Gunungpuyuh, Sekolah Rakyat Benteng, Yang tertua adalah Sekolah Rakyat Kebon Jati. Sekolah Rakyat ( SR) Gunungpuyuh yang didirikan pada tahun 1914 ini, lama pendidikannya selama 3 tahun,
Kota Sukabumi juga naik statusnya pada 1 April 1914, Sukabumi diangkat statusnya menjadi Gemeente. Dengan semakin banyaknya berdiam orang Belanda dan Eropa pemilik perkebunan (Preanger Planters) di daerah Selatan dan harus mendapatkan kepengurusan dan pelayanan yang istimewa. Pada tanggal yang sama 354 tahun yang lalu, Belanda bangga memenangkan perang melawan Spanyol.
Namun secara resmi baru pada 1 Mei 1926 pemerintahan kota dibentuk dan diangkat Mr. GF. Rambonet sebagai burgemeester (wali kota) pertama di Sukabumi seperti yang ditulis dalam blog sukabumi.dagdigdug.com/2009/03/12/sejarah-kota-sukabumi. Hal ini juga diungkapkan Ruyatna Jaya, Sejarah Sukabumi). Pada waktu itu Kota Sukabumi sudah dihuni oleh 1520 orang Eropa, sekitar 19 ribu penduduk dan sekitar 3 ribu penduduk Cina.
Pada masa pemerintahan Rambonet inilah dibangun sarana dan prasarana penting seperti Stasiun Kereta Api, Mesjid Agung, Gereja, prasarana olahraga dan hiburan dan Pembangkit Listrik Ubrug. Stasiun Kereta Api, Mesjid Agung, Gereja Kristen, Gereja Katolik, pembangkit listrik Ubrug; Centrale (Gardu Induk) Cipoho, Sekolah Polisi Gubermen yang berdekatan dengan lembaga pendidikan Islam tradisionil Gunung Puyuh.
Salah satu tempat favorit para elite Eropa ini adalah pacuan kuda yang dilakukan di Cibolong. Setelah Rambonet yang menjadi Walikota Sukabumi adalah WM Ouwekerk, Ala Van Unen dan WJ PH Van Waning. Pertumbuhan perkebunan juga merangsang pertumbuhan tempat wisata. Kawasan wisata Danau Lido yang hingga kini juga menajdi tempat wisata khas Sukabumi sebetulnya juga dibuat pada zaman Belanda. Pada 1898, saat Belanda membangun Jalan Raya Bogor-Sukabumi, mereka mencari tempat untuk peristirahatan para petinggi pengawas pembangunan jalan dan pemilik perkebunan.
Danau Lido adalah danau alam yang letaknya di lembah Cijeruk dan Cigombong. Jika dilihat dari atas, Danau Lido seperti mangkuk di kaki Gunung Gede-Pangrango. Di dekat danau ini juga terdapat air terjun Curug Cikaweni yang mengalirkan air yang sangat dingin. Kawasan ini baru dibuka untuk umum pada tahun 1940 setelah Ratu Wilhelmina datang dan beristirahat di Lido pada tahun yang sama. Ketika itu, restoran pertama diresmikan sebagai pelengkap fasilitas kawasan wisata dan juga untuk menjamu Sang Ratu ( blog.cicurug.com)
Tempat wisata lainnya yang dibangun masa Belanda adalah Selabintana yang terletak 7 kilometer dari kota Sukabumi. Wisatawan hingga kini mendapatkan jejak sejarah peninggalan Belanda yang dipadu dengan panorama Gunung Gede-Pangrango. Hotel yang dibuat pada tahun 1900-an oleh seorang berkebangsaan Belanda tetap bertahan hingga kini dan masih menjadi ikon Selabintana.
Pergerakan Politik dan Keagamaan
Buku Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi yang ditulis Miftahul Falah, diterbitkan pada 2008 oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, member kesan paad saya bahwa pergerakan politik lokal kawasan Sukabumi tampaknya didominasi pergerakan Islam. Di antaranya adalah Sarekat Islam Sukabumi didirikan pada 1913 bersamaan dengan berdirinya Sarekat Islam di Cianjur, Bandung, dan Cimahi. Pada tahun itu juga, H. O. S. Tjokroaminoto, Presiden Sarekat Islam Pusat, berkunjung ke Sukabumi. Daerah-daerah yang dikunjungi adalah basis Sarekat Islam di Sukabumi yaitu Cicurug, Babakanpari, Kalapanunggal, Palasari Girang, dan Jampang
Pada 1916, masyarakat Sukabumi yang menjadi anggota Sarekat Islam diperkirakan kurang dari 500 orang. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama, Sarekat Islam Cianjur memiliki anggota sekitar 8.000 orang, Sarekat Islam Bandung memiliki anggota sekitar 1.500 orang, dan Sarekat Islam Tasikmalaya memiliki anggota sekitar 1.200 orang. Pada waktu itu, yang menjadi pemimpin Sarekat Islam Sukabumi adalah Haji Sirod.
Tokoh penting Sarekat Islam Sukabumi adalah K.H. Ahmad Sanusi yang bergabung kemudian. Kelahiran Desa Cantayan, Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak,kira-kira 1889 ini adalah salah seorang anak K. H. Abdurrohim, seorang ajengan dari Cantayan. Sanusi kemudian menjadi penerus pesntren Cantayan setelah berguru di sejumlah pesantren dan Mekah. Sejak Juli 1915, ia menjadi penasihat (adviseur) Sarekat Islam Sukabumi.
Pada 1919, K. H. Ahmad Sanusi mendirikan sebuah pesantren di Kampung Genteng, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi. Bagi K. H. Ahmad Sanusi, Pesantren Genteng merupakan sebuah alat bagi perjuangannya untuk menegakkan syariat Islam di Sukabumi. Pengaruh kuat Sanusi pada masyarakat Sukabumi menjadikannya target penangkapan pemerintah Kolonial.
Pemberontakan berdarah di Banten 1926 dan pengerusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi dengan Bandung dan Bogor pada Agustus 1927 membuat Pemerintah Kolonial menangkap Sanusi dan membuangnya ke Tanah Tinggi, Batavia. Namun pengasingan itu tidak menyurutkan pengaruh Sanusi. Para pengikutnya kerap mengunjunginya.
Sekitar 1931, para ulama pengikut K. H. Ahmad Sanusi menggelarkan pertemuan di Pesantren Babakan. Cicurug. Dalam pertemuan yang dipimpin oleh K. H. Muh.Hasan Basri itu, mereka membicarakan berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam pertemuan inilah, keinginan untuk membentuk sebuah organisasi semakin mengkristal. Pada akhirnya, para kyai yang menghadiri pertemuan itu mencapai kesepakatan untuk membentuk sebuah organisasi yang akan diberi nama Al Ittihadjatoel Islamijjah.
Pada 1930-an, pemerintah kolonial menjadikan Sukabumi sebagai daerah pembuangan para para pemimpin pergerakan nasional. Pada masa akhir penjajahan Belanda, tercatat beberapa pejuang nasional yang dibuang di Kota Sukabumi. Tjipto Mangunkusomo, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir merupakan tiga tokoh pergerakan nasional yang dibuang Pemerintah Hindia Belanda ke Sukabumi. Tjipto Mangunkusomo tidak lama menjadi tahanan di Sukabumi, tetapi kemudian ia beserta keluarganya memilih untuk menetap di Salabintana.
Irvan Syajari