Kamis, 31 Mei 2012
BATU LOHE : Pelabuhan Dinasti Ming ?
Padahal, Batu Lohe adalah sejarah panjang akan kemaritiman nusantara sejak zaman purba, hingga memasuki zaman pengusaan VOC yang “merajai” pelayaran tanah air kala itu, bahkan bukti lain adalah pahatan atau tulisan-tulisan beraksara Mandarin (China) yang diperkiran sudah ratusan tahun yang silam masih nampak kokoh.
Ketika mengunjungi tempat ini, nyaris tak percaya ketika menyaksikan pahatan “hidup” itu seakan-seakan baru terjadi lima tahunan lalu. Memang secara akal membuat orang bertanya, siapa yang lagi iseng menulis pada dinding-dinding batu karang yang demikian kokohnya, bahkan kekuatan dinding alam itu seolah tak pernah menggubris hentakan gelombang yang setiap saat menyerbunya.
Maka karena alasan itu pula, sehingga sebagian besar pengunjung pun berujar bahwa “tulisan” mandarin itu bukan sengaja dibuat oleh tangan-tangan terampil manusia, tetapi memang terjadi karena “buatan” alam itu sendiri.
Alasannya, pada ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu, ketinggian rata-rata gelombang laut sangat besar, sehingga setiap hentakan ombak yang tak putus-putusnya itulah yang kemudian “melukiskan” huruf-huruf yang mirip sekali dengan sebuah tulisan atau kalimat dalam bahasa mandarin.
Baiklah. Kalau itu memang salah satu dugaan yang kuat, tapi pertanyaannya kenapa hanya pada tempat (pada dinding) karang itu, yang kira-kira panjangnya hanya sekitar 2 – 3 meter, demikian juga dengan tinggi karang yang menjadi tempat melekatnya tulisan itu pula sekitar 4 meter.
Memang semuanya ini belum ada jawaban yang pasti, warga setempat juga belum pernah mendapat keterangan baik dari hasil penelitian, survey atau pun analisa geologi yang dapat memastikan keaslian tulisan mandarin itu dibuat oleh manusia atau buatan alam.
Inilah yang menjadi misteri Batu Lohe yang hingga sekarang belum terungkap dengan jelas. Tetapi bagi masyarakat Balang Butung itu bukan soal, apalagi selama ini mereka masih sering mendapati barang-barang kuno, termasuk guci , piring, gelas, dan aneka perabot antik yang bertuliskan mandarin pula yang ditemukan di dalam semak-semak atau di sekitar tempat itu.
Menurut cerita tutur warga setempat dengan berdasarkan penuturan dari nenek moyang mereka, bahwa zaman dahulu Batu Lohe itu merupakan pelabuhan teramai yang menghubungkan antara Papua, Buton, Labuang Bajo, Larantuka (NTT) dengan Gowa – Makassar, Teluk Bone, Selat Banda, hingga Surabaya ataupun kota-kota lain di Sumatera.
Pelabuhan ini pula sebagai kawasan perlindungan bagi para nelayan dan pelaut jika dalam perjalanannya mengarungi Samudra Hindia tiba-tiba diterjang badai topan. Menurut warga, mereka bahkan sering membuat pemukiman ataupun tenda-tenda darurat untuk menanti musim badai (musim barat dan timur) berlalu. Setelah kedua musim tersebut reda, barulah para pelaut melanjutkan perjalanannya menuju ke tujuan masing-masing.
Penuturan warga ini pun cukup beralasan, karena disisi kanan pantai pasir putih yang panjang sekitar 500 meter, merupakan kawasan palung, kedalamannya tak terkirakan sehingga airnya pun berwana birukehitam-hitaman. Sehingga dianggap cocok untuk bersandar kapal-kapal ukuran besar, utamanya kapal-kapal dengan daya angkut ratusan ton.
Sedangkan pada zona pesisirnya, merupakan daerah yang sedikit landai, memang cocok untuk membuat perkemahan, dan lebih ke arah daratan lagi terdapat perkebunan kelapa yang sering kali digunakan para perekreasi untuk menikmati ikan bakar dengan air kelapa muda.
Semakin ke dalam, maka gunung yang menjulang tinggi seolah-olah menjadi atap bagi orang-orang yang berteduh. Sebagian ekosistem gunung tersebut masih hutan perawan, atau hutan kenari dengan diameter kayu yang masih besar-besar, atau rata-rata dua hingga tiga pelukan orang dewasa.
Jadi wilayah pelabuhan transit ini memang lengkap dengan 3 dimensi counturnya, ada perairan, pesisir atau daratannya, dan gunungnya yang menjulang tinggi. Sehingga kebutuhan pun rasanya terpenuhi, ada ikan dan lobster yang dengan sangat mudah dipancing, ada daratan dengan menyiapkan sumber air tawar, serta ada bukit-bukit dan gunung-gunung yang menyiapkan lahan perkebunan jagung dan ubi.
Sementara di sebelah kiri (utara) ada pula batu yang seolah-olah terpisah dari laut dan daratan. Orang Balang Butung menyebut batu feri, karena batu tersebut menyerupai bentuk kapal feri. Malah ada mitos yang berkembang bahwa sebenarnya itu bukan batu alam, tapi awalnya sebuah kapal besar kemudian terdampar dan mendapat kutukan akhirnya berobah menjadi batu.
Batu kapal ini memiliki panjang sekitar 15 meter, diamternya 5 meter, tinggi 20-an meter. Setiap pelancong yang datang ke kawasan ini, belum lengkap rasanya kalau belum mendaki batu kapal ini. Dan dari atas ketinggian, dapat melihat daratan besar Sulawesi Selatan dengan warna kehijauan yang menyatu dengan khaki langit.
Disebelah kiri batu kapal, dengan jarak sekitar 100 meter, disitulah terdapat tulisan mandarin yang hingga kini masih kokoh menantang setiap gelombang dan matahari pagi. Dan tak jauh dari dinding bertuliskan ini, juga disebelah kirinya (masuk ke daratan), merupakan kawasan yang subur dengan sumber air tawar.
Dengan adanya sumber air tawar tersebut, maka semakin menguatkan dugaan bahwa kawasan Batu Lohe adalah pelabuhan transit masa silam para pelaut-pelaut nusantara. Pelabuhan badai, karena memang khusus digunakan jika menghindari badai atau musim barat dan timur. Batu Lohe juga dapat disebut Pelabuhan Dinasti Ming, karena di dasar laut di depan pantai pasir itu diperkirakan sebuah kapal milik Dinas Ming China karam disitu sehingga setiap saat penduduk dapat memungut benda-benda berharga yang terbawa arus ombak ke pantai. Apalagi diperkuat dengan adanya tulisan China yang melekat pada dinding karang.
Semoga Batu Lohe juga menjadi pelabuhan hati bagi warga dan pemerintah Kabupaten Selayar, sehingga tempat bersejarah ini dapat lestari sepanjang abad. (S/I)
Iknul Fikli
Guru Bangsa : Haji Agus Salim
1. Sekilas Haji Agus Salim
Haji Agus Salim dikenal dengan nama kecil Masyhudul Haq yang berarti “pembela kebenaran”. Dialahirkan tanggal 18 Oktober 1884 di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Ketika Masyhudul kecil, ia diasuh oleh seorang pembantu asal Jawa yang memanggil anak majikannya “den bagus”, yang kemudian dipendek jadi “gus”. Kemudian teman sekolah dan guru-gurunya pun ikut memanggilnya “Agus”.
Pendidikan dasar Agus Salim ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burger School (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Setelah lulus, Agus Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Agus Salim juga pernah mengajukan permohonan beasiswa untuk belajar kedokteran di negeri Belanda. Tampaknya permohonan ini ditolak, para gurunya mengusahakan agar Agus Salim mendapat beasiswa di STOVIA (School tot Opleiding van Inlansche), namun hal ini juga gagal. Sesungguhnya dalam respondensi antara R. A. Kartini dan Nyonya Abendanon, nama Agus Salim disebut-sebut. R. A. Kartini mengusulkan kepada Nyonya Abendanon agar beasiswa pendiikan sebesar 4.800 gulden kepada R. A. Kartini dapat dialihkan kepada pemuda bernama Agus Salim, juara pada ketiga HBS tersebut. Namun dalam kenyataannya tidak terjadi pengalihan beasiswa tersebut. Pada tahun 1905, Snouck Hurgronye mengusulkan kepada pemerintah Belanda eksperimen penempatan tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar negeri. Kemudian tahun 1906, Agus Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Di Jeddah Agus Salim bekerja sebagai penerjemah dan mengurus urusan haji. Pada periode inilah ia memperoleh kesempatan untuk mempedalm ilmu agama (Islam), Agus Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Selama kurang lebih enam tahun Agus Salim berada di Arab Saudi. Akhirnya tahun 1911, Agus Salim pulang ke Indonesia. Kepulangannya dari Tanah Suci ini boleh dikatakan sebagai titik tolak perjuangannya melawan Belanda. Agus Salim sempat bekerja pada dinas pekerjaan umum. Namun, ia keluar dari birokrasi Belanda dan mendirikan sekolah swasta di kampungnya di Kota Gadang. Hal ini hanya sebentar, Agus Salim kemudian berangkat lagi ke Jakarta dan selanjutnya terjun ke dunia politik melalui Syarikat Islam (menjadi ketua bersama dengan HOS Tjokroaminoto) dan menjadi Ketua Partai Serikat Islam Indonesia. Karena keaktifan dan kepandainnya itulah, ia diangkat menjadi anggota Pengurus Pusat. Ia merupakan salah seorang tokoh yang mengupayakan pembersihan organisasi dari ideologi komunisme yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Agus Salim juga mencoba berbagai pekerjaan selama di Jakarta baik di organisasi politik maupun di pemerintahan. Agus Salim beberapa kali menjadi pengelola surat kabar dan sangat produktif menulis baik tajuk rencana maupun artikel lainnya. Agus Salim kemudian juga terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Semasa penjajahan Belanda, Agus Salim memang tidak pernaah ditangkap Belanda. Baru setelah Indonesia merdeka ia beberapa kali diasingkan bersama dengan pemimpin nesional lainnya. Hal ini dimungkinkan karena gaya bahasa Agus Salim yang kritis dan tajam, tetapi disampaikan secara halus tapi cerdas.
2. Agus Salim Islam Moderat ?
Agus Salim mendapat pengajaran Islam yang cukup kuat ketika Agus Salim berada di Jeddah, ketika itu ia berguru kepada Syeh Ahmad Khatib. Salah satu peran ia sebagai Ulama, Agus Salim ikut aktif selama duduk pada Panitia Sembilan yaitu memperjuangkan dihapusnya tujuh kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk - pemeluknya”. Keberhasilan Agus Salim ini mengecewakan Soekarno yang sejak awal mendukung terbentuknya Indonesia sebagai negara Islam. Peristiwa ini adalah sejarah besar karena menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi modern yang tidak menempatkan salah satu agama sebagai agama negara namun tetap mengacu pada syariat Islam.
Agus Salim sebagai ulama besar di Indonesia menyarankan agar masyarakat selalu mengikuti Al Quran dan Sunnah Rasul dan karena itu Agus Salim menekankan perlunya pemberdayaan masyarakat melalui gerakan - gerakan swadaya masyarakat. Ia menentang pembedaan antara pria dan wanita yang dilakukan dengan membuka tabir pembatas tempat duduk pria dan wanita. Agus Salim adalah penganut paham “Memimpin adalah Menderita, Memimpin adalah Melayani”. Ia juga menolak pandangan yang membagi dunia menjadi dua antara Islam dan Non-Islam. Ia melihat bahwa dunia Islam dan dunia Barat adalah dua buah sumber daya yang harus dimanfaatkan.
Di dalam kuliah Agus Salim di Cornell University tahun 1953 sudah membicarakan mengenai pentingnya modernitas Islam, pluralisme dan pemahaman Jihad yang bukan semata-mata perjuangan fisik yang bila harus didefinisikan berarti kerja keras untuk membela kebenaran bukan menyerang atau agresi.
Agus Salim berkata bahwa dalam Al Quran ada tiga kata yang yang merupakan satu akar dengan jihad, yakni ’juhd-un yang mengarah pada pengertian kerja keras; kedua, ijtihad yang lebih menunjuk kesungguhan dari segi pemikiran atau intelektualitas; ketiga, mujahadah, dalam arti mengarah pada spiritual exercise, sebuah olah rohani yang sungguh- sungguh yang biasa dilakukan kaum sufi.
3. Kiprah Internasional Agus Salim
Kiprah di dunia internasional Agus Salim sebenarnya sudah dirintas sejak ia bekerja di konsulat Belanda di Timur Tengah. Kemahiran Agus Salim dalam komunikasi internasional terus ia praktikkan ketika Indonesia merdeka. Ini didukung oleh kemahiran bahasa, ia menguasai sembilan bahasa asing, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, dan Jepang dikuasainya selain bahasa Idonesia dan bahasa daeah. Sebagai bukti Agus Salim beberapa kali menduduki Menteri Luar Negeri di beberapa kabinet pada masa awal kemerdekaan.
Tahun 1929, Agus Salim diangkat sebagai penasehat teknis delegasi Serikat Buruh Negeri Belanda dalam Konferensi Buruh Internasional di Jenewa, Swiss. Dalam konferensi itu, ia mendapat kesempatan untuk berpidato dalam bahasa Perancis yang fasih. Banyak anggota delegasi yang kagum karena kemampuannya berbahasa dan berpidato sehingga sangat menikkan nama Indonesia dalam forum internasional.
Pada tahun 1947 Agus Salim bersama beberapa tokoh nasional lainnya dapat dianggap berjasa dalam pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya, selama 3 bulan mereka mengembara di Timur Tengah dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas sebagai utusan negara yang baru merdeka.
Setelah menjadi dosen tamu di Universitas Cornell ia mampir dulu di Washington dan bertemu dengan warga Indonesia. Ia memberikan pesan kepada pemuda yang masih relevan dengan kondisi kita sekarang, “ Begitu pula di Tanah Air kita. Janganlah pemuda-pemuda Indonesia bimbang tentang adanya berbagai-bagai partai. Bukan uniformitas yang mencapaikan tujuan yang tinggi-tinggi, tetapi besef , kesadaran tentang unitas (unity) dalam berlain-lainan asas, dalam berlain-lainan pendapat, satu bangsa, satu Tanah Air, selamat sama selamat, celaka sama celaka. Bukan satu saja, bukan uniform, tapi gerich of het gemeenschappelijk nut, bertujuan pada keselamatan bersama karena keselamatan masing-masing yang tidak membawa keselamatan bersama tidak akan tercapai “.
Menurut Prof. George Kahin yang pernah mengundang Agus Salim dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Waktu itu Agus Salim sebagai pembicara tamu di Universitas tersebut sedangkan Ngo Dinh Diem saat itu sedang mengumpilkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Tokoh yang terkenal jago omong itu kemudian menjadi Perdana Menteri di negerinya. Prof. George Kahin terperangah karena kedua tokoh itu ternyata sudah asyik berdebat dalam bahasa Perancis. Ternyata Agus Salim dapat membuat Ngo Dinh Diem menjadi pendengar saja. Hal ini dikarenakan kemampuan bahasa dan keluasan ilmu pengetahuan sehingga ia menguasai suatu diskusi atau percakapan. Ketika mengajar di Cornell. Agus Salim tidak melupakan kebiasaannya menghisap rokok kretek. Sehingga para muridnya menjadi tidak asing lagi dengan bau eksotik itu.
Agus Salim tidak minder dalam berhadapan dengan tokoh asing. Ketika mewakili Presiden Soekarno menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth tahun 1953, ia agak kesal dengan suami ratu yaitu Pangeran Philip yang kurang perhatian terhadap tamu asing yang datang dari negeri-negeri yang jauh. Agus Salim menghampiri dan mengayun-ayunkan rokok kretek di sekitar hidung sang pangeran. Agus Salim pun mengajukan sebuah pertanyaan “Apakah Paduka mengenali aroma roko ini?” Dengan ragu-ragu menghirup roko itu, sang pangeran mengakui tidak mengenal aroma tersebut. Agus Salim pu dengan tersenyum berujar, “Itulah sebabnya 3000 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya”. Maka suasana menjadi mencair, sang pangeran mulai ramah meladeni tamunya.
Sudah dipaparkan diatas bahwa Agus Salim adalah diplomat yang sangat ulung. Walaupun demikian dia hidup sederhana dalam kesehariannya. Bahkan Schermerhon memiliki kesan yang mendalam terhadap Agus Salim. Dalam Het dagboek van Schermerhoon (Buku Harian dari Schermerhoon), ia menggambarkan Agus Salim: “Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.”
Berdamai dengan kemelaratan seolah telah menjadi pilihan hidupnya. Itu dibuktikannya pada 4 November 1954, saat bapak pendiri bangsa tertua itu menutup mata selamanya. Tak ada warisan harta dan kemilau materi yang diwariskan kepada anak-anaknya. Hidup sederhana seolah telah “dihitung” sang diplomat tua sejak jauh hari. Sejak ia memutuskan ke luar dari pekerjaannya yang bergaji besar di PID.
Agus Salim merupakan tokoh yang cerdas dilahirkan dari keluarga yang sangat mendukung ia untuk bersekolah. Berkat keseriusan Agus Salim dalam menuntut ilmu, ia menjadi lulusan terbaik sekolah Belanda di seluruh Hindia Belanda. Ia kemudian memohon beasiswa kepada pemerintah Belanda namun ditolak. Ia tidak putus arang, Agus Salim kemudian bekerja di Indragiri. Namun beberapa waktu kemudian ia dikirim pemerintahan Belanda ke Timur Tengah untuk bekerja di Konsulat Belanda. Inilah yang akan tonggak awal kiprah Agus Salim di dunia internasional. Setelah ia pulang dari luar negeri ia berjibaku dengan tokoh nasional lain untukmelawan pemerintahan Belanda. Akhirnya perjuangan Agus Salim dan kawan-kawannya mebuahkan hasil kemerdekaan bagi Indonesia. Setelah itu beliau menjadi diplomat bagi pengakuan kemerdekaan Indonesia di dunia internasional. Agus Salim juga pernah beberapa kali menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga sering membanggakan Indonesia di forum-forum internasional. Kita sebagai penerus bangsa hendaknya meteladani sifat-sifat dari pahlawan-pahlawan kita.
Referensi :
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Anonim. 2009. Haji Agus Salim: Diplomat Hidup Sederhana. http://esq-news.com/2009/04/29/149/haji-agus-salim-diplomat-hidup-sederhana.html, diakses tanggal 2 Januari 2012.
Anonim. Haji Agus Salim. http://www.pelaminanminang.com/tokoh-minangkabau/haji-agus-salim.html, diakses tanggal 2 Januari 2012.
J. B. Soedarmanta. 2007. Jejak-jejak Pahlawan, Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Vicky Verry Angga
Bung Karno dan Sejarah Lahirnya Pancasila
Pentingnya landasan dasar negara sudah dipikirkan oleh Bung Karno jauh sebelum Indonesia Merdeka. Sejak tahun 1918, saat usianya baru 18 tahun. Bung karno sudah berpikir meletakkan landasan dasar “Kebangsaan Indonesia” sebagai prinsip pertama bagi negara Indonesia merdeka. Kata Bung Karno, Indonesia Merdeka bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan bangsawan, atau golongan kaya, tetapi “semua buat semua”.
Bung Karno memberikan gambaran tentang beberapa tokoh lain didunia, bagaimana mereka mendirikan negara beserta landasan negarany, Lenin mendirikan negara Soviet Rusia tahun 1917 tetapi dasarnya sudah berpuluh-puluh tahun umurnya. Adolf Hitler yang naik singgasana tahun 1933 tetapi sudah mengikhtiarkan Naziisme sejak tahun 1921 dan 1922. Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka tahun 1912 tetapi sejak tahun 1885 sudah memiliki dasar negara tertuang dalam buku “The Three People’s Principle” yakni nasionalisme, demokrasi, sosialisme.
Dalam risalah “Mencapai Indonesia Merdeka”, dibuat tahun 1933, Bung Karno menyebutkan kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menyeberang menyempurnakan masyarakat.
Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, mengutip tulisan Armstrong itu pada 1 Juni 1945 tatkala berpidato di depan sidang Panitia Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (PPUPKI), atau Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai. Ia saat itu berbicara tentang prinsi-prinsip dasar sebuah negara merdeka.
Karena Bung Karno menyebutkan lima dasar, dan diterjemahkan sebagai Pancasila, maka 1 Juni itu dikenallah sebagai Hari Lahir Pancasila, dan nama Proklamator ini disebut pula sebagai penggalinya.
Sebuah pemikiran yang besar dari orang yang berjiwa besar, bahwa pentingnya memberikan sebuah landasan bernegara yang kuat dalam satu bangsa yang begitu majemuk, yang mampu mempersatukan yang berbeda suku dan agama dalam satu ikatan bangsa yang satu Bangsa Indonesia. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia ini sudah dipikirkannya.
“Kita semua harus mendirikan satu negara kebangsaan di atas satu kesatuan bumi Indonesia, dari ujung Sumatera sampai ke Irian, bukan sekedar satu golongan yang hidup di satu daerah kecil. Bangsa Indonesia adalah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik telah ditentukan oleh Tuhan tinggal di semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian.”
Pemikiran tentang Pancasila dituangkannya dalam rangkaian kata yang bermuara pada Persatuan dan Kesatuan bangsa, dalam ikatan persaudaraan tanpa membedakan ras, suku dan agama. Tentulah ini bukanlah sesuatu hal yang mudah, karena berbagai suku dan agama harus masuk dalam pemikiran dan juga bermusyawarah dan bermufakat untuk kemajuan bersama dalam persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Uraian pemikiran tentang makna dan isi sila-sila yang ada dalam Pancasila tersebut dituangkan dalam gagasan besar untuk persatuan Indonesia menuju Kemerdekaan Indonesia.
Paham kebangsaan tidak akan meruncing menjadi kauvanis. Tanah air Indonesia yang berbangsa satu, yang berbahasa yang satu, hanyalah satu bahagian kecil dari dunia. Kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan yang menyendiri, tetapi seperti dikatakan Mahatma Gandhi, seorang nasionalis yang kebangsaannya perikemanusiaan.
Indonesia jangan pernah berkata sebagai bangsa yang terbagus, yang termulia. Indonesia harus menuju persatuan dan persaudaraan dunia sekaligus menuju kekeluargaan bangsa-bangsa. Karena itu prinsip dasar kedua adalah “Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan.”
Syarat mutlak menuju Indonesia “semua buat semua” ialah ada permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Dengan cara mufakat perbaiki segala hal, termasuk keselamatan agama dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan.
Apa-apa yang belum memuaskan, dibicarakan di permusyawaratan seperti tuntutan-tuntutan Islam. Kalau orang Kristen ingin tiap-tiap letter peraturan negara harus menurut Injil, misalnya, bekerjalah mati-matian agar sebagian besar utusan-utusan yang masuk badan perwakilan adalah orang Kristen. Itu adil, fair play, karena itu prinsip ketiga adalah “Mufakat atau Demokrasi.”
Prinsip keempat adalah “Kesejahteraan sosial”. Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Kita tidak mau Indonesia Merdeka kaum kapitalnya merajalela. Atau, semua rakyatnya sejahtera, cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi. Kita mencari demokrasi permusyawaratan yang memberi hidup, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Prinsip kelima Indonesia Merdeka dengan “Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Hendaklah negara Indonesia negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menurut kitab-kitab yang ada padanya. Semua bertaqwa dengan cara yang berkeadaban yakni yang hormat-menghormati satu sama lain.
Tentunya ini bukanlah pemikiran yang mudah, tapi bukan juga sesuatu yang sulit kalau hal tersebut memang dipikirkan secara sungguh-sungguh. Dalam menyusun gagasan ini beliau juga di bantu oleh Mr. Mohammad Yamin. Bukankah ini sebuah upaya yang patut dan harus kita hargai, tidaklah harus mensakralkan Pancasila, tapi menghargai Pancasila sebagai dasar Negara dan alat pemersatu Bangsa, harus tetap terus dikedepankan. Karena itulah salah satu cara kita menghargai apa yang sudah dirintis dan diupayakan oleh Pendiri Bangsa ini, untuk menyatukan bangsa ini dari perpecahan.
Semoga saja dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 sekarang ini, kita bisa merenungkan apa yang sudah diupayakan Bapak Pendiri Bangsa ini, Ir. Soekarno, dan kita bisa tetap senantiasa mengenang jasa-jasa beliau, juga tetaplah mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara dan alat pemersatu bangsa. Semoga kita juga tetap bisa mengamalkannya dalam kehidupan bernegara, mampu menghargai perbedaan demi persatuan dan kesatuan Bangsa.
Ajinata
"Lampu Vampir", Butuh Darah Manusia untuk Menyala!
Daily Mail
Lampu Vampire
Desainer produk asal Amerika Serikat, Mike Thompson, menciptakan Lampu Vampir. Layaknya vampir atau drakula, lampu ini butuh darah manusia untuk hidup atau menyala.
Saat menyala, lampu tersebut akan menghasilkan warna biru. Lampu menyala saat zat kimia di dalam sebuah tablet dalam lampu itu melepaskan energi. Pelepasan energi bisa terjadi jika lampu mendapat suplai darah.
Thompson, seperti diberitakan Daily Mail, Senin (28/5/2012), menuturkan, tujuan pembuatan lampu bukan untuk mencari sensasi, melainkan menyadarkan pentingnya menghemat energi. Tujuan pembuatan lampu ini, ungkap Thompson, untuk membuat orang bertanya bagaimana jika individu harus membayar dengan dirinya demi mendapatkan daya.
Ia mengaku ingin mengomunikasikan bahwa konsumsi energi terlalu besar akan membahayakan individu, sama halnya ketika manusia kehilangan banyak darah.
"Dengan menciptakan lampu yang hanya bisa dipakai sekali, pengguna harus berpikir ulang kapan lampu paling dibutuhkan, memaksa mereka berpikir seberapa boros mereka dalam menggunakan energi dan betapa berharga energi itu," ujar Thompson dalam situsnya.
Halo Bimasakti Berusia 11,4 Miliar Tahun
Posisi Matahari di galaksi Bimasakti
Studi terbaru mengungkapkan bahwa halo Bimasakti berusia 11,4 miliar tahun, plus minus 700 tahun.
Halo Bimasakti adalah bagian dari galaksi Bimasakti yang terdiri atas klaster globular yang memiliki ribuan bintang dan juga area bintang tunggal. Ada dua bagian halo, yakni halo dalam dan luar.
Selain halo, bagian Bimasakti yang lain adalah bagian inti yang disebut central bulge serta bagian mirip piringan yang disebut relatively disk. Total, Bimasakti terdiri atas 3 bagian.
Sebelumnya, halo Bimasakti diperkirakan berumur 10-13 miliar tahun. Lewat penelitian ini, ilmuwan berhasil menentukan usia halo Bimasakti dengan lebih tepat. Penentuan ini berguna untuk memahami evolusi galaksi.
Penentuan Usia dengan Studi Bintang Katai Putih
Jason Kalirai dari Space Telescope Science Institut di Baltimore, ilmuwan dalam studi ini, menentukan usia halo Bimasakti dengan mempelajari bintang katai putih.
Bintang katai putih adalah bintang yang sudah kehilangan energinya, meninggalkan inti yang padat. Matahari pada suatu saat nanti juga akan menjadi bintang katai putih.
Bintang katai putih mengemisikan hidrogen. Dengan mempelajari emisi hidrogen, massa dan karakteristik lain yang penting dalam mempelajari usia bintang bisa ditentukan.
Dalam studi ini, Kalirai mempelajari empat bintang katai putih di halo dalam Bimasakti. Hasilnya, terkuak bahwa usia bintang katai putih itu sekitar 11,4 miliar tahun, plus minus 700 tahun.
Bila usia halo dalam Bimasakti adalah 11,4 miliar tahun, halo luarnya sedikit lebih tua. Dengan usia tersebut, halo sendiri hanya berusia 2 miliar tahun lebih muda dari Big Bang.
Ke depan, Kalirai akan mempelajari bintang katai putih di halo luar untuk menentukan usianya. Ia juga akan mempelajari lagi bintang kalai putih di halo dalam untuk mengetahui bagaimana bintang terbentuk.
Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature, Rabu (30/5/2012). Penentuan usia halo galaksi bisa membantu ilmuwan memahami evolusi galaksi itu sendiri.
"Jika tahu usia halo dalam, Anda bisa mengetahui hal yang lebih umum tentang bagaimana galaksi terbentuk," ungkap Kalirai seperti dikutip Space, Rabu (30/5/2012).
SPace
NASA Siap Mulai Misi 'Berburu Lubang Hitam'
Lubang Hitam merupakan sebuah fenomena alam yang masih misterius hingga saat ini, hingga membuat NASA ingin melakukan misi khusus. Seperti apa?
Seperti dikutip dari CosmosMagazine, pihak agensi luar angkasa NASA mengatakan bahwa mereka sedang bersiap melakukan peluncuran teleskop orbit yang akan menggunakan penglihatan sinar X untuk berburu lubang-lubang hitam di alam semesta ini.
Proyek ini ditujukan menemukan sejumlah fenomena energi di alam semesta seperti lubang hitam dan ledakan bintang," ujar Dr. Fiona Harrison, ilmuwan dari Spectroscopic Telescope Array (NuStar).
Peluncuran itu dijadwalkan akan dilakukan pada 13 Juni dari Kwajalein Atoll di wilayah Marshal Islands.
"NuStar akan membuka sebuah prespektif baru kita akan alam semesta," ungkap Dr. Harrison.
Rabu, 30 Mei 2012
Rabi Amerika Buka Rahasia Kekejaman Yahudi
Rabi Manis Friedman mengakui, membunuh orang tak berdosa dan tempat ibadah adalah cara perangnya orang Yahudi.
Sebagian orang mungkin bertanya-tanya, mengapa Yahudi Israel begitu membabi buta menyerang siapa saja dan apa saja yang menjadi lawannya. Pertanyaan itu terjawab oleh pernyataan seorang rabi di Amerika.Rabi tersebut seorang Yahudi Ortodoks Amerika, yang mengatakan bahwa cara bertempur orang Yahudi dalam perang agama adalah dengan membunuh masyarakat sipil dan menghancurkan tempat-tempat ibadah. Pernyataan ini telah menyulut perselisihan besar.
Rabi bernama Manis Friedman dari Bais Chana Institute of Jewish Studies, Minnesota, tersebut berkata menjawab pertanyaan sebuah majalah Yahudi Amerika, yang dimuat dalam rubrik Ask the Rabbis.
Ia mengatakan, “Satu-satunya cara melawan (musuh) dalam perang agama adalah caranya orang Yahudi: Menghancurkan tempat-tempat suci mereka. Membunuh laki-laki, perempuan, dan anak-anak mereka (dan juga hewan ternak mereka).”
Ia juga menolak konsep moral “orang Barat”, dengan mengatakan, “Saya tidak percaya dengan nilai moral Barat, seperti jangan bunuh masyarakat sipil, jangan menghancurkan tempat-tempat suci mereka, jangan bertempur selama waktu hari raya, jangan membom pemakaman, dan jangan menembak sampai mereka menembak lebih dulu karena hal itu tidak bermoral.”
Editor majalah Moment, Nadine Epstein, mengatakan, mereka menerima banyak surat dan e-mail menanggapi penyataan rabi Friedman, dan hampir tak ada satu pun tanggapan yang positif.
Belakangan Friedman mengakui bahwa kata-katanya “tidak bertanggung jawab” dan meminta maaf jika hal itu menimbulkan salah pengertian. Namun demikian sepertinya ia mencoba membela diri dengan mengatakan, dirinya hanya mencoba untuk “sedikit menyinggung masalah yang terkait moral dalam hal keadaan yang memaksa militer harus menahan tembakannya terhadap orang-orang dan tempat-tempat tertentu, di saat terjadi pertempuran berdarah yang meluas.”
Lucunya, Friedman yang berasal dari Chabad-Lubavitch, sebuah gerakan Hasidik – bagian dari Yahudi Ortodoks, juga berargumen dengan menyebut dirinya berbeda dengan orang Arab – yang ia sebut teroris – ketika bicara tentang membunuh orang sipil Yahudi.
“Mereka mengatakan itu (membunuh orang sipil) adalah genosida, bukan membela diri,” kata Friedman. “Bagi mereka, ada sebuah keyakinan dalam agamanya bahwa mereka harus menghancurkan wilayah kita. Sedangkan kita (Yahudi) tidak seperti itu.”
Ibrahim Hooper, juru bicara nasional dari Council on American-Islamic Relations (CAIR), mengatakan kepada Muslim News, “Genosida adalah genosida, baik itu dilakukan pada waktu perang atau saat damai. Saya hanya bisa membayangkan (apa yang akan terjadi) jika saja pernyataan itu dikeluarkan oleh seorang pemimpin Muslim Amerika, mendukung pemikiran ekstrim seperti itu.”
Hooper mengatakan, ia tidak hanya terkejut dengan pernyataan Friedman saja, “Pernyataan itu dimuat di majalah terkenal, Moment. Hal seperti itu, baru pertama kali saya dengar di negeri ini. Kalau di sana (Israel) banyak rabi yang mengeluarkan pemikiran yang sama dengan serdadu-serdadu Israel.”
Direktur komunikasi CAIR wilayah Minnesota, Jessica Zikri, berkata kepada Muslim News, “Sikap diam terhadap pernyataan ekstrim seperti itu, hanya akan disangka oleh orang tersebut bahwa ia mendapatkan persetujuan dan legitimasi.”
Wanita itu mengatakan, ia menghargai jawaban yang lebih moderat dari rabi lainnya yang dimintai pendapat oleh majalah Moment.
Sementara itu orang Yahudi yang tidak setuju dengan pandangan Friedman memberikan pernyataannya. Dalam sebuah pernyataan kepada Muslim News, Cecilie Surasky dari Jewish Voice for Peace mengatakan, “Pernyataan keterlaluan yang dikeluarkan oleh Friedman bahwa membunuh laki-laki Arab, para wanita dan anak-anak, dan menghancurkan tempat-tempat ibadah mereka adalah ’sebuah cara orang Yahudi’, adalah pernyataan yang sangat menghina semua orang, khususnya orang Yahudi yang memegang nilai bahwa semuanya punya hak hidup yang sama. Pernyataannya tidak mewakili mayoritas umat Yahudi.”
“Kami tahu ada banyak peningkatan jumlah pemukim Yahudi ekstrimis di Israel dan para pendukung mereka dari Amerika, yang menolak untuk mengakui hak hidup bagi orang Palestina dan Arab. Jauh dari tujuan membawa kedamaian dan keamanan bagi Yahudi. Sikap mejijikkan yang tidak mengakui hak hidup orang-orang non-Yahudi, hanya akan membawa kepada pertumpahan darah yang lebih banyak.”
Direktur Eksekutif National Educational Foundation, HaMifgash, Rabbi Haim Beliak mengatakan, “Pernyataan pertama dan permintaan maaf yang dikeluarkan Manis Friedman menandakan tidak adanya moral dan tidak adanya etika dalam sikapnya. Friedman tidak bicara untuk Yahudi, tidak ada nilai-nilai Yahudi di sana, jika dalam lingkungan itu orang Yahudi dan non-Yahudi tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya sebagai manusia. Etika Yahdi mengajarkan bahwa kita berhutang kewajiban terhadap ‘orang lain’ agar perhatian dan peduli. Bukan hanya dalam teori, tapi juga praktek. Dalam masa perang atau pun damai, status masyarakat sipil dan orang tak berdosa harus dihormati.”
[di/mn/]
Soal Grasi Corby, SBY Dalam Ancaman Freemason
Banyak orang mempertanyakan Grasi yang diberikan oleh Presiden ini, Calon wakil gubernur DKI Jakarta pasangan dari Hidayat Nurwahid, Didik J. Rachbini menilai pemberian grasi kepada kepada terpidana kasus narkoba Schapelle Leigh Corby oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah preseden buruk. Menurut Didik, seharusnya Corby dihukum mati dan tak layak diberikan grasi.
Dirilis Merdeka.com Didik J Rachbini mengaatakan “Karena hukum di Malaysia sangat ketat, Indonesia bisa dijadikan ladang dan surga para bandar narkotik. Tak layak Corby diberi grasi, justru idealnya dihukum mati,” kata Didik dalam diskusinya bertajuk ‘Dampak Narkoba Bagi Remaja di Jakarta’ di Cafe Papa Ron, Apartemen Park Royale Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Sabtu, (26/5). (Merdeka.com)
Dalam wawancara dengan MetroTV (26/5/2012), Denny Indrayana menjawab Pertanyaan Ketua GRANAT seperti mengelak dan tidak ada kejelasan, dengan pemberian Grasi ini. Tetapi ada yang menarik untuk diungkap adalah Denny Indrayana mengatakan Presiden memikirkan Nasib NKRI dimasa mendatang, karena keputusan ini ada pengaruhnya terhadap kondisi Papua saat ini, Penulis melihat bahwa Corby yang merupakan warga Negara Australia ini merupakan ajang pertaruhan kepemimpinan Presiden SBY hingga 2014, Penulis melihat secara diam-diam Australia memberikan sebuah “Ancaman” kepada SBY jika tidak memberikan grasi maka SBY bisa lengser di pertengahan tahun ini, Kok Bisa? Itu pertanyaannya bukan? Kita akan urai dibawah ini.
SBY bisa lengser dari Jabatanya apabila tidak memberikan grasi (pengampunan) terhadap Corby, Australia akan mengobok-obok Papua untuk merdeka dan melepaskan diri dari Indonesia, merdekanya Papua akan menjadi preseden buruk SBY dan kemungkinan besar SBY dapat disalahkan karena melepas Papua. Australia merupakan “Saudara” dekatnya Amerika Serikat dan tentunya “Israel”. Campur tangan Intelijen Asing seperti CIA di Indonesia sudah terlalu PARAH sehingga mudah saja bagi mereka mangatur dan mengacaukan kondisi stabilitas Nasional.
Australia, Amerika Serikat dan Isreal merupakan Negara-negara yang dikendalikan kekuatan Zionis International, Organisasi Freemason dunia sepertinya “mengancam” kepemimpinan Yudhoyono.
Jika Anda membuka literature tentang hubungan antara Freemason dengan Corby? Sangat Pasti ketemu. Selain memang Corby warga Australia, aktivitas penangkapan pengedar Ganja sangat ditentang oleh Organisasi Zionis Freemason.
Hasil penelusuran Saya, Corby dibahas dalam diskusi Forum Freemason (www.forum.thefreemason), dalam diskusi tersebut diangkat sikap Illuminati, Masonic Freemason terhadap Ganja/Marijuana. Dalam diskusi itu terangkat bahwa kejahatan sesungguhnya bukan pada Ganjanya melainkan Memenjarakan Pengedarnya.
“Meskipun ganja dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan, termasuk kesehatan mental, dalam hal bahaya hanya relatif, Sangat jauh lebih berbahaya daripada alkohol atau tembakau,” ujar laporan itu sebagaimana dirilis Harian News Sky (sky.com)
Menurut Laporan tersebut bahwa Secara historis hanya ada dua kematian di seluruh dunia dikaitkan dengan ganja, sedangkan alkohol dan tembakau bersama-sama bertanggung jawab untuk 150.000 kematian diperkirakan per tahun di Inggris saja belum di Negara-negara lain diseluruh Dunia.
Kemudian laporan tersebut menutupnya dengan kalimat “ Bahaya yang terkait dengan penggunaan ganja adalah Dampak dari larangan itu sendiri, terutama kerugian sosial yang timbul dari penangkapan dan penahanan pengedarnya “ (Sky.com)Misteri Asal-usul Gunung Padang Cilacap
Struktur batu tak biasa ditemukan di tengah pegunungan di Desa Salebu, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. Tersusun relatif teratur dari balok-balok batu segi empat, segi lima, dan segi enam sepanjang 3 sampai 4 meter. Rebah memajang ke arah timur. Namanya Gunung Padang.
Sudah lama batuan ini dikeramatkan penduduk sekitar, dianggap peninggalan Kerajaan Padjajaran, tumpukan bahan bangunan membuat keraton timur yang urung dibikin. Keberadaan struktur batuan itu menjadi perhatian publik paska ditemukannya situsGunung Padang di Cianjur yang diduga peninggalan megalitikum dari ribuan ribu tahun lalu.
Belum pernah ada penelitian di Gunung Padang Cilacap, ia bahkan belum terdaftar dalam catatan Balai Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Belum berstatus peninggalan purbakala.
Salah satu pertanyaan mendasar tentang Gunung Padang Cilacap adalah, apakah ia merupakan buatan manusia atau terbentuk secara alami — struktur batuan beku misalnya columnar joint (kekar tiang).
Untuk membuktikan asal batuan tersebut, tim ahli geologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto akan mendatangi lokasi. Tim rencananya akan tiba Rabu sore di desa terdekat dan menginap semalam. Sebelum menuju ke lokasi struktur batuan. “Karena kami dari geologi, kami akan meneliti apakah batuan itu terjadi secara alami atau buatan manusia,” kata ahli geologi dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Muhammad Aziz kepadaVIVAnews.com.
Salah satu caranya, dia menjelaskan, menggunakan GPS mencari titik koordinat lokasi tersebut. Lalu, akan dicocokkan dengan peta geologi, apakah batuan asli berasal dari lokasi itu atau dibawa dari tempat lain. Namun, Aziz mengingatkan, apapun hasilnya nanti, itu baru satu indikator. “Perlu ada kajian dari disiplin ilmu lain,” tambah dia.
Sebelumnya, arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar menduga, tumpukan batu di Gunung Padang Cilacap tak terbentuk secara alamiah. “Batu andesit piroksen itu memang bentuknya columnar joint, yang terbentuk di dalam gunung berapi. Tapi itu kemudian dimanfaatkan manusia, terlihat ada bagian yang dipatahkan dan dihaluskan,” kata Ali Akbar, saat ditemui di Kampus UI, 29 Mei 2012.
Batu kuncian mirip permainan tetris di Gunung Padang menjadi faktor yang memperkuat dugaan itu.
Ali Akbar kemudian mengatakan punden berundak di Cilacap itu memiliki struktur dan konstruksi bangunan yang hampir sama dengan di Gunung Padang Cianjur.
Menurut dia, di kawasan selatan Jawa banyak terdapat temuan prasejarah Neolitik. “Di sekitar Tasik hingga Garut, itu juga punya tradisi Neolitik yang kuat.”
Pendapat ini bersesuaian dengan pernyataan Pelaksana Tugas Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah Zainul Azah. Biasanya di daerah dataran tinggi seringkali dijumpai situs punden berundak maupun menhir.
Untuk memastikan tentang keberadaan situs Gunung Padang Cilacap ini, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah akan mengirimkan tim untuk memeriksa dan meneliti serta melakukan pendataan situs tersebut.
Warga tak berani mendekat
Jangankan orang luar, warga sekitar tak tahu persis soal gundukan batu yang mereka keramatkan itu.
Suganda, juru kunci Gunung Padang mengatakan, warga juga tak mengetahui dari mana asal batu itu. Apalagi, tak ada gunung berapi di kawasan tersebut, yang memungkinkan pembentukan batu secara alami.
Ganda yang menjadi juru kunci sejak tahun 1980-an hanya mengetahui kisah Gunung Padang secara turun temurun, bahwa itu adalah peninggalan Kerajaan Padjajaran. Sepengetahuannya ada dua lagi gundukan batu semacam ini di lokasi berbeda.“Masyarakat sekitar tak berani mendekat ke Gunung Padang, takut, apalagi bagi mereka yang berniat jahat seperti menjarah hutan atau merusak lingkungan,” kata dia.Gunung Padang versi Sumedang?
SITUS CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG
BATU TONGGAK DI GUNUNG CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG SELATAN,
SITUS BCB-KAH ATAU SEKEDAR HASIL PROSES GEOLOGI SEMATA ?
1. Kearifan Lokal
Pepatah mengatakan “Lain Lubuk Lain Ikannya, Lain Padang Lain Pula Belalangnya” , ungkapan peribahasa yang menunjukkan betapa tajamnya nenek moyang kita di dalam mengngungkapkan masalah anekaragam data istiadat masing-masing daerah pada berbagai wilayah di (Kepulauan) Nusantara ini.
Secara sadar ataupun nirsadar sebenarnya ungkapan itu merupakan suatu cerminan tindakan sangat hati-hati bila kita mendatangi atu menilai daerah (baca: etnis) lain di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang bersifat ‘mukti etnis’; yang menampilkan cara yang berbeda–beda pula, baik dalam proses pembentukan maupun pembekuan unsur-unsur tradisionalnya.
Berbicara tentang fenomena warisan aktivitas kebudayaan di Tatar Sunda (BCB), secara langsung berhadapan kepada berbagai permasalahan epistemologis yang fundamental:
- Apakah kita, bertolak dari keyakinan bahwa gagasan teoritis dalam pengetahuan Ilmu Sosial Budaya universal, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, atau terikat kepada kebudayaan dimana gagasan itu dicanangkan? Ataukah harus diteruskan dengan pertanyaan
- “Apakah kebudayaan suatu masyarakat/individu/ kelompok sosial merupakan suatu sistem yang dihayati warganya sehingga pemahaman tentang lingkungan sosial dan biofisika harus dianggap seragam?”
- Ataukah pula masing-masing warga memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang tidak perlu dan belum tentu sama dari satu warga ke warga yang lain ?
Layaknya pepatah kuna mengatakan “ciri sabumi cara sadesa” menyiratkan pengertian amat mendalam bahwa setiap masyarakat pendukung budaya di Nusantara mengembangkan kelengkapan ‘supraorganik’ atau perlatan ‘nonragawi’ yang merupakan perwujudan atas seluruh tanggapan aktifnya terhadap lingkungan hidupnya. Variasi lingkungan hidup di berbagai wilayah tersebut menimbulkan aneka-ragam cara memahami, memperkirakan dan menilai lingkungan serta menentukan nilai dan gagasan vital yang menjadi pedoman pola tingkah laku anggota masyarakat.
Maka dalam rangka IDENTIFIKASI SITUS sekalipun, ‘ntah yang dimengerti oleh atau secara umum atau ke dalam ujudnya yang lebih formal (akademis), harus dipandang dan diselaraskan sesuai kepada latar kebudayaan tiap-tiap alam lingkungan kebudayaan dan kerangka waktu pendukung budayanya.
Sebagaimana umumnya masyarakat Nusantara, masyarakat Tatar Sunda sejak sebelum masa Tarumanagara (protosejarah) hingga hadirnya berbagai inovasi, akrab dan mandiri dengan ciri budaya berladang dengan segenap perangkat kepercayaannya. Ciri khas budaya berladang adalah orientasi kuat terhadap lingkungan alam dengan segala kandungannya (kesuburan), serta iklim.
Karena masyarakat dengan budaya berladang memenuhi hidupnya secara langsung terlibat dengan memnafaatkan lingkungan alam, sehingga mereka berusaha mendekatkan diri dengan lingkungannya. Yang selanjutnya dibakukan ke dalam konsep (pikukuh) pemeliharaan bumi dengan segala isinya yang hakekatnya adalah simbolisasi hubungan antara dirinya kepada PenciptaNYA.
2. Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan
Gunung/Pasir Reungit secara geografis (GPS) pada koordinat 06° 51’ 43”-51°43” Lintang Selatan (LS) dan 107° 53’59,9” Bujur Timur (BT) ketinggian dari permukaan laut (dpl) 525 m. Terletak di Kampung Seulareuma (dahulu Salareuma) menempati lahan tertinggi dari sekitarnya diapit dua kampung lainnya yang mengisi dataran lebih rendah yaitu Kampung Lebak Huni (sebelah barat) dan Kampung Legok Bungur (sebelah timur). Lokasi yang dirujuk berupa suatu bukit yang oleh penduduk bersangkutan disebut Pasir (Sunda: Pasir=gunung kecil) di lingkungan pegunungan Perbukitan Sumedang Selatan yang terdiri dari
Gunung/Pasir Nangtung,
Gunung/Pasir Konci, Pasir Peti,
Gunung/Pasir Ciguling,
Gunung/Pasir Palasari dan Gunung Palasari.
Di lingkungan perbukitan tersebut hingga kini terdapat Makam Kuno Karamat Eyang Jagabhaya di Gunung/Pasir Nangtung dan Batukorsi (Stonesit ) Gunung/Pasir Ciguling.
Pasir Reungit merupakan salah satu bukit (Pasir) di lingkungan Sumedang Selatan yang kini dalam kondisi digali khususnya lereng dan dinding bukit bagian selatan (menghadap jalan raya Sumedang–Bandung). Penggalian berkaitan dengan usaha penambangan sumberdaya bahan bangunan rumah dan alat-alat sehari-hari diprakarsai oleh Perusahaan Bangunan CV. Stone-House. Sekitar 50 % lahan bukit bagian selatan nampak terbuka oleh hasil pengupasan sengaja pihak perusahaan bersangkutan, dan memperlihatkan sejumlah besar bongkahan batu dengan bentuk khas berupa sejumlah besar tonggak dengan ukuran yang spektakuler.
Dari catatan ringkas (arsip PolWil Priangan) tentang Gunung/Pasir Reungit diberikan oleh seorang bernama Rohman (Bojongmenje-Cangkuang, Rancaekek, Bandung) yang berkunjung pada 17 Oktober 2002. Ia membuat catatan ringkas (arsip Polwil Priangan BripKa.Asep Harijadi) tentang Gunung/Pasir Reungit atas dasar apa yang dilihatnya dengan dilengkapi keterangan wawancara dengan sesepuh penduduk setempat bernama Aki Jenar (87 tahun). Selain bongkah batu tonggak di Gunung/Pasir Reungit ditemukan terowongan dari sungai Cipeles yang menembus hingga ke Pasir Reungit, di dalam terowongan ada jalan berupa teras-teras undakan yang disusun menuju ke atas bukit, dan berfungsi sebagai pintu gerbang.
Disebutkan oleh Aki Jenar kepada Rochman bahwa pada tiap-tiap bulan (Islam) Maulud dan bulan Rajab khususnya di malam Jum’at di puncak Gunung/Pasir Reungit ini kerap muncul cahaya berkilauan seperti cahaya lampu neon. Maka Rochman menambahkan pada bagian akhir catatannya gunung/Pasir Reungit adalah “situs”:
1) ada keajaiban berupa cahaya pada lahan tertinggi Gunung/Pasir Reungit;
2) ada lubang berupa terowongan dari Sungai Cipeles hingga tembus ke lokasi tumpukan batu–batu
di atas, dan batu-batu yang berbentuk “persegi” adalah buatan manusia.
Keterangan yang sama diperoleh dari penduduk bernama Sukandar (43 tahun), ketika ayahnya masih hidup (Juned bin Juned meninggal dalam usia 74 tahun) menceritakan Pasir Reungit semula leuweung geledegan – hutan rimba mulai digali dan diketahui mengandung batu-batu tonggak ketika pada tahun 1954 membuka lahan ini untuk pertanian. Pada bagian selatan lahan kawasan Pasir Reungit terpotong jalan raya Sumedang-Bandung terdapat irigasi (sungai) Cipeles guna mengairi lahan permukiman dan persawahan penduduk Kampung Seulareuma. Diantara irigasi menuju lahan Pasir Reungit terdapat terowongan tanah yang menembus hingga ke bagian dalam Pasir Reungit.
Dari kondisi yang telah ditampakkan CV Stone-House Gunung/Pasir Reungit mengandung sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak dalam jumlah besar; yang ketika digali posisinya demikian tersusun rapi, jenis batuan andesit yang keras dan kokoh, dan berwarna hitam. Maka permasalahan yang hadir “apakah kawasan Pasir Reungit ini hasil karya manusia (artefak) ataukah hadir semata karena gejala alam?”
Karena alasan kondisi inilah pihak keamanan setempat yang berwenang di wilayah Pringan Timur – PolWil.Priangan dipimpin (KaPolWil.Priangan) Kolonel Anton, menimbang dan mencurigai kemungkinan tidaknya Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan sebagai “Situs Bersejarah”.
Menegaskannya, perlu Tenaga Ahli yang secara profesional memiliki latarbelakang pengetahuan disiplin ilmu bersangkutan. Bersamaan dengan itu penyidik dari pihak PolWil Priangan mengundang beberapa Tenaga Ahli (Ilmuwan) dari berbagai disiplin ilmu, yang khusus dimintai pendapatnya tentang identifikasi dan status Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam yang tampak sebagaimana adanya kini.
Keterangan disampaikan beberapa oleh Tenaga Ahli tersebut direkam sesuai proses verbal menurut pihak Kepolisian Wilayah dan disimpan sebagai bukti saksi (istilah penyidik PolWil) atas status Pasir Reungit. Secara lisan diterangkan oleh Kompol Elman Limbong (salah seorang penyidik PolWil.Priangan) bahwa pihak PolWil.Priangan belum memperoleh ketegasan tentang status Gunung/Pasir Reungit.
Permasalahan yang menanti jawaban adalah identifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan seluruh kandungan sumberdayanya yang dinilai cukup mencurigakan itu apakah dapat dikaitkan dengan warisan aktivitas budaya yang disebu “SITUS” atau harus dipandang sebagai gejala alam hasil proses geologis semata?
Penggalian CV.Stone House telah menampakkan Gunung/Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam berupa bongkah-bongkah batu andesit yang berbentuk tonggak dengan ukuran sangat besar dan kokoh. Lahan bukit yang telah ditampakkan tersebut sekitar 50 %, beberapa dintaranya dibaringkan di bagian bawah bukit di halaman rumah milik Ade Rahmawati (30 tahun), satu-satunya bangunan rumah yang berada di lereng Pasir Reungit; sebagian besar lainnya lagi masih berada pada tempatnya (intax sesuai matrixnya).
Sejumlah besar batu yang telah nampak ditemukan sebelum dijadikan tambang bangunan telah
banyak dipergunakan penduduk setempat selain dijadikan bahan bangunan rumah mereka, juga
untuk menyanggah tebing sungai (Cipeles). Pemanfaatan batu-batu tonggak baik oleh perusahaan maupun masyarakat setempat karena jenis batunya sangat keras tidak mudah retak meskipun dibanting dan dijatuhkan dengan keras, namun belakangan Perusahaan CV.Stone-House menggunakan mesin berat dan besar yaitu Buldozer yang kini masih terparkir di halaman rumah penduduk.
Ketika diamati lebih seksama batu tonggak memiliki bentuk hampir serupa namun dengan ukuran tinggi dan diameter berbeda-beda. Batu-batu tonggak yang masih terletak utuh pada tempatnya, berposisi “seakan-akan’ sengaja disusun berbaris dan menyandar pada dinding (lereng) Gunung/Pasir Reungit dengan tatanan yang cenderung miring 60° ke arah timur. Dari pengamatan Batu Tonggak yang telah dipindahkan dan berada di halaman rumah penduduk, ujung badan bagian bawah (menempel ke tanah) bentuknya rata “seperti usai dipangkas” sedangkan ujung badan bagian batu tonggak yang menghadap atas bentuk- nya “kerucut semu” seperti sengaja dipangkas kasar. Ukuran panjang batu-batu tonggak berkisar antara 7 – 8 m; sedangkan diameternya antara 60-70 cm.
Pada bagian lereng bawah Gunung/Pasir Reungit (dibawah susunan batu tonggak) masih terhampar kerakal andesit dan kericak sebagian masih tersusun rapih seperti lantai dan sebagian lagi terserak bercampur kerikil (kerikcak). Dibalik dinding susunan batu tonggak ditemukan tatanan batu lainnya seperti “susunan kue lapis” yang mengisi bagian dalam Gunung/Pasir Reungit.
Lahan paling atas tatanan batu tertutup tanah dengan partikel padat sekitar 50 cm dari batas tatanan batu, diikuti hamparan pasir pada bagian permukaan. Bagian selatan kawasan Gunung/Pasir Reungit kurang lebih 1-1.5 km mengalir sungai besar disebut Cipeles, aliran sungai tersebut mengalir arah timur-barat dan bermuara di Cimanuk.
Diantara dinding ruas jalan (Sumedang – Bandung) dan sungai Cipeles terdapat sungai irigasi yang sekaligus menjadi batas lahan Gunung/Pasir Reungit. Pada lahan ini ditemukan lubang terowongan (diameter terowongan 80-100 cm) Kendati besaran ukurannya cukup untuk dimasuki manusia, namun keadaannya kini telah terisi tanah dan bahkan kerap berisi air dan dihuni binatang (sero) sehingga sulit untuk diamati.
Hasil pengamatan terhadap Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan menunjukkan:
- lahan terbuka yang masih intax lekat pada matrixnya, dan yang tidak mungkin dipindahtempatkan
atau diubah oleh manusia
- Mengandung sumberdaya alam sangat potensial berupa batu andesit dari bahan yang sangat keras
juga dari berbagai bentuk diantaranya bentuk tonggak dalam jumlah yang sangat banyak memenuhi
bukitnya; kerakal dan kerikil juga dengan jumlah yang banyak; kandungan pasir dan tanah
- Gunung/Pasir Reungit terletak di lingkungan pegunungan atau perbukitan yang masih termasuk ke
dalam jajaran pegunungan Dataran Tinggi Parahiyangan
- Didekatnya mengalir sungai besar Cipeles yang bermuara di Cimanuk
Dapat disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan lebih merupakan lingkungan dengan kandungan batuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya aalm yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang bukan merupakan ciptaan atau dibuat oleh manusia, namun berkenaan dengan upaya dan usaha kehidupan berkebudayaan, manusia sebagai makhluk historis manusia memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, dan tinggal dalam lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya tersebut, sebagaimana adanya sekarang. Lalu bagaimana situasi dan kondisi pemanfaatan lahan Gunung/Pasir Reungit dan keberada- annya? Ke dalam pengertian Gunung/Pasir Reungit di dalam tatanan ruang budaya Sumedang Larang sejak awal hingga sekarang?
Karena manusia di dalam upaya memanfaatkan lingkungan pada dasarnya selalu mempertimbangkan pemilihan lahan atau lokasi dari manusia menempatkan dirinya dalam suatu lingkungan fisik. Pertimbangan ini mencerminkan bahwa dalam batas-batas tertentu masyarakat mengikuti aturan umum yang berlaku (normative), sehingga tidak berperilaku acak dalam memilih suatu lahan atau lokasi pemukiman, melainkan berpola, maka pemolaan aktivitas manusia tercermin pada keruangannya, waktu dengan ciri dan karakter budaya dalam suatu lingkungan tertentu.
3. Apakah yang disebut Situs, Bagaimana Kaitannya dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan ?
Seorang pakar Arkeologi Prof.Dr. Moendardjito di dalam salah satu artikelnya berjudul “Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi” salah satu makalah di dalam Laporan Pelaksanaan Workshop Pelestarian Dan Pengembangan Kawasan Percandian Situs Batujaya, Kabupaten Karawang” (Cikampek, 15-19 April 2002), Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalan Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Tahun 2002 (8 halaman).
Mengemukakan secara rinci tentang apa dan bagaimana ketentuan suatu SITUS kedalam pengertian Arkeologi, pada lembar 3 aliena 10 ia menuturkan, sebagai berikut: “Nama Situs di Indonesia pada umumnya diberikan menurut nama lokasi administratifnya, meskipun tidak konsisten. Kadangkala menurut nama kampung, atau nama desa, kecamatan, dst. Seringkali juga menurut nama yang diberikan penduduk . . . Perlukah kita memberi nama secara sistematis seperti sekarang, atau kita memberi nama dengan cara lain, atau membebaskannya menurut keinginan masing-masing peneliti, perencana, atau penduduk.
Tingkat pengetahuan mengenai isi situs bertambah ketika mendalaminya, sehingga penamaan yang diberikan seringkali jadi berubah. Misalnya bukit yang dinamakan penduduk sebgai Unur Jiwa selanjut nya oleh peneliti menyebutkannya situs Unur Jiwa, setelah dilakukan penggalian dan ditemukan candi, peneliti menyebutkannya situd Candi Jiwa.
Tetapi mungkin ada peneliti yang menamakannya situs Segaran I karena berada di wilayah administratif Desa Segaran. Mungkin ini menguntungkan dari sudut pengelolaan secara administratif. Namun kerugiannya, jika desa tersebut berganti nama, akan menimbulkan permasalahan baru…”
Disebutkan bahwa kata ‘situs’ di Indonesia menimbulkan kerancuan dalam pemakaiannya, karena tidak konsisten dengan prinsip taksonomi keruangan yang sifatnya hirarkial. Untuk kota kuna Trowulan misalnya dengan luas 9 x 11 km ditnamakan ‘situs’ dengan tambahan keterangan yang menunjukkan keistimewaannya sebagi situs yang luas sebesar kota, yaitu ‘situs kota’ (city-site, urban-site).
Istilah ini memang tidak salah benar karena ada dalam kepustakaan arkeologi. Hal ini mungkin disebab kan selama kita menganut definisi situs sebagai ‘sebidang lahan yang mengandung atau diduga meng andung tinggalan arkeologi’, tanpa merinci kompleksitasnya, dan keluasannya (apakah 1 meter persegi atau 1 hektar persegi),kepadatan penduduknya,dsb.
Penggunaan definisi tersebut di tasa tidak hanya dipakai di kalangan arkeolog-peneliti, tetapi juga arkeolog-pelestari sebagaimana tersurat dalm Undang Undang tentang Benda Cagar Budaya Tahun 1992. satuan ruang yang dinyatakan dalam undang-undang tersebut hanya ‘situs’, bukan ‘kawasan’. Kini, sudah ada upaya untuk memasukkan istilah, pengertian dan konsep ‘kawasan’ di dalam wacana para arkeolog Indonesia, tetapi belum dalam perundang-undangan…”
Moendardjito (2002:4) memperjelas keterangannya:
bahwa pengertian ‘kawasan arkeologi’ secara sederhana diartikan ‘sebidang lahan yang relatif luas, yang mengandung sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan (spatial clustering sites), seperti kawasan Batujaya dan Pakisjaya tidak hanya berdekatan dal hal keruangannya (space), juga memiliki kedekatan dalam hal bentuk (form), dan waktu (time).
Situs-situs yang berada dalam ‘kawasan’ tersebut dapat mengandung warisan aktivitas budaya (baca: arkeologi) yang sejenis atu aneka jenis, semasa atau lintas masa, tunggal atau banyak atau multi- componentsites, besar atau kecil. Di situs-situs itu juga terdapat sejumlah warisan aktivitas arkeologi berupa bangunan dan fitur, artefak, ekofak dan lingkungannya.
Menurutnya, di berbagai bagian dunia lain para arkeolog ‘Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi’ dikatagorikan dalam empat satuan ruang dengan berdasarkan kepada keluasan atu kompleksitasnya:
1) satuan ruang ‘situs (site)’;
2) satuan ruang yang lebih luas dari situs yaitu ‘locality’;
3) satuan ruang yang lebih luas dari locality, yaitu ‘region’ dan
4) satuan ruang yang lebih luas dari region, yaitu ‘area’.
Namun di Indonesia ‘region’ dan ‘area’ disepadankan dengan istilah ‘kawasan’ atau ‘wilayah’ dipakai secara bergantian (rancu) di dalam tulisan-tulisan berupa laporan atau makalah/artikel; sedangkan
‘daerah’ dipakai sebagaimana adanya kini,
ada juga istilah ‘mintakat’ untuk menyepadankan ‘zona’ :
Ada ‘Zona I’ atau ‘Zona Inti’ yang merujuk kepada ’sanctuary area’;
‘Zona II’ atau Zona Penyangga yang merujuk kepada’buffer area’;
‘Zona III’ atau ‘Zona Fasilitas’ yang merujuk kepada ‘facility area’ zona merupakan daerah sarana penunjang;
di luar zona-zona atu mintakat-mintakat tersebut adapula ‘Zona IV’ atau ‘Zona Lansekap Sejarah’
yang merujuk kepada ’historical landscape’ tentunya dimaksudkan untuk mempertahankan lingkungan
Mengacu kepada paradigma ‘situs atau lahan situs’ yang diajukan Moendardjito tersebut, disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan situs-situs yang terletak diselilingnya berada dalam lahan yang tidak berjauhan, lahan-lahan yang secara tegas disebut ‘situs’ dengan posisi ‘mengelilingi’ dengan mengambil pusat lahan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan, maka:
1. Situs Sanghyang Kolak di Gn. Palasari 1349.27 m
2. Situs Batu Lingga Cikondang di Kampung Cikondang , Desa Pasanggrahan Baru (524m)
3. Situs Batu Kursi di Kampung Pasirpeti, Desa Margalaksana (1641.61 m)
4. Situs Geger Hanjuang (Patilasan Kraton dan Makam Sunan Guling) Kampung Ciguling, Desa
Margalaksana (1651.27 m)
5. Situs Cadas Gantung di Kampung Pasirpeti , Desa Margalaksana (1404.61 m)
6. Situs Patilasan Ibukota Sumedanglarang di Kampung Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan
(1358.78 m)
7. Situs Makam Prabu Pagulingan raja Sumedanglarang ke-4 di Kampung Nangtung,
Desa Ciherang (1291.07 m)
8. Situs Makam Bagus Suren di Kampung Jamban, Desa Girimukti (594.25 m)
Kedekatan antar ‘situs-situs’ tidak hanya ditunjukkan dalam keruangan (space) juga bentuk (form) dan waktu (time) yang secara ringkas :
- Skala ruang ditunjukkan oleh jarak yang tidak lebih dari 2 km (jarak yang cukup dekat) terletak pada delapan arah mata angin, dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan berada ditengah-tengah ‘situs-situs’ tersebut;
- Skala bentuk ditunjukkan oleh pemanfaatan batu-batu alam dengan bentuk yang sangat alami dengan “mengimposisi kepada lingkungan alam’. Seperti kenyataannya di Pasir Reungit terdapat singkapan lava bersifat basaltis dengan struktur kekar kolom (columnar joint), oleh penduduk setempat disebut Batu Tonggak dan diyakini batuan andesitis. Kekar kolom (columnar joint) ini lazim terbentuk di daerah gunung api, hasil pembekuan magma yang keluar ke permukaan yang disebut lava. dengan bentuk yang bervariasi segilima, segienam ataupun segi delapan dengan arah kolom yang dapat berdiri/tegak, miring maupun rebah, tergantung dari arah dan pola aliran lavanya.
Dengan adanya kekar kolom, maka diketahui arah aliran lava, karena arah aliran lava tegak lurus dengan sumbu memanjang dari kolom kedudukan kekar kolomnya berdiri, meski miring sekitar 60o.
Di Situs bekas Ibukota Sumedanglarang di Ciguling terdapat batuan basaltis dengan kedudukan terguling/rebah, yang bertumpuk sejajar dan searah, yang pada dasarnya juga merupakan kolom-
kolom dari lava basaltis.
Yang perlu dipelajari secara rinci adalah, apakah penumpukan tersebut merupakan hasil karya leluhur Kabuyutan, atau secara alami.
Jika penumpukan tersebut hasil karya leluhur, sangat mungkin bahannya diambil dari daerah sekitar yang tidak jauh, sebagaimana disebutkan seluruh tempat terdapatnya situs-situs merupakan batuan lava basaltis dengan struktur kekar kolom (columnar joint). Namun jika penumpukan dengan kedudukan terguling/rebah adalah hasil kegiatan alam, artinya terdapat pola dan arah aliran lava yang berbeda dengan di Situs Batu Nantung, karena menghasilkan pola kekar kolomnya tidak berdiri/ tegak seperti tonggak, melainkan terguling/ rebah.
Demikian pula penamaan situs di daerah ini oleh masyarakat Sunda Sumedang masa lampau (Kabuyutan) sebagai Batu Nantung (Batu Tonggak/Berdiri) sangat sesuai dengan keadaan alam,
batuan di situs tersebut berdiri tegak, atau Batu Tonggak memang terbentuk secara alamiah sebagai hasil pembekuan lava basaltis di permukaan, hasil kegiatan volkanisme pada Kala Plestosen (sampai sekitar 1,5 juta tahun yang lalu).
Batuan lava basaltis yang membentuk kekar kolom kiranya dimanfaatkan oleh Kabuyutan yang kini dapat dimaknai sebagai situs budaya masa lampau seperti di Situs Batu Menhir di Cikondang, Situs Ciguling, Situs Petilasan Kraton dan Situs Bagus Suren di Desa Girimukti. Selurus situs–situs itu terletak di suatu daerah bukit atau perbukitan yang diketahui jelas adanya suatu tubuh kekar kolom dari batuan basaltis digunakan Kabuyutan untuk kepentingan tertentu berhubungan sesuai nilai kehidupan kala itu.
- Skala waktu (time) ditunjukkan oleh sejumlah data tertulis (textual data) yang terdiri dari naskah prasasti, naskah karyasastra dan tradisi tutur — hisdtoriografi tradisional yang mengetengahkan peristiwa kontemporer Pasir Reungit selaras zamannya. Digunakannya sumber tertulis dalam rangka mengidentifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan adalah sesuai sifat dan data Arkeologi yang didapat dengan melakukan pendaftaran, pencatatan dan pemugaran kemudian membahas masalah-masalah yang ada dibalik data kontekstual (artefak-artefak).
Akan tetapi penafsiran terhadap artefak-artefak atau data kontekstual selalu dilakukan kepada penjelasan-penjelasan sumber tertulis (data tekstual). Karena Arkeologi, disamping sebagai bidang
ilmu yang berdiri sendiri juga dipandang bagian pengkhususan dari Antropologi, maka permasalahan perkembangan seni dalam kedua bidang tersebut didekati dengan cara yang sama.
Di belahan dunia lain Arkeologi sebagai bidang ilmu sebagian besar meliputi masa Prasejarah, maka warisan aktivitas budaya dipelajari tidak mengandung data tekstual (sumber tertulis). Dengan demikian penafsirannya bersandar pada analisis artefak dengan berbagai cara, ataupun pada analogi dengan data Etnografi. Di Indonesia membahas Arkeologi mengggunakan pendekatan 1) Arkeologi Prasejarah dan pendekatan Antropologi, 2) Oudheidkundige dan Art History.
Dalam hal inilah Oudheidkundige memberikan penjelasan mengenai artefak-artefak seni kuna meng- gunakan data tekstual berupa sumber-sumber tertulis yang memberi keterangan-keterangan pemikiran, khususnya tentang gagasan-gagasan keagamaan yang nyata dan secara faktual melandasi karya- karya seni tersebut. Sumber tertulis terutama digunakan untuk meletakkan suatu karya dalam titik waktu tertentu (kronologi) dalam tatanan Sejarah Kebudayaan.
4. Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan adalah ‘Datum Point’ Kabuyutan (Ceremonial Center): Gerbang (Madyapada) Yang Berlaku Dalam Unsur Keyakinan Keagamaan Masyarakat Tatar Sunda
Tatanan mengelilingi dengan pusat (puseur) di Gunung/Pasir Reungit adalah sesuai konsep Sang Sewasogata, Gunung/Pasir Reungit merupakan Pancatantramantra (lima unsur halus), yang secara
gaib terdiri dari tujuh susun berupa kesirnaan/lenyap, tujuh susun bersuasana sunyi/hampa. Sedangkan di bagian selatan terletak Situs Batu Pangcalikan, simbol sakala (alam dunia) “Bhuhloka/Madyapada”(dunia tempat manusia).
Secara horizontal tatanan Gunung/Pasir Reungit dan situs-situs di sekitarnya yang mengilinginya di arah delapan mata angin merupakan pancer sebagai tonggak dangiang layaknya sarang lebah di
dunia nyata “jagat leutik/buana leutik”; dan secara vertikal melambangkan jagat gede/jagat
ageung- alam semesta sesuai Kropak 422 dan teks naskah Sang Hyang Hayu, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan:
(1) susunan dunia bawah, saptapatala ‘tujuh neraka’,
(2) bhuhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan
(3) susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu ‘tujuh sorga’ bhuwarloka.
Tempat di antara saptapatala dengan sapta-buana itulah yang disebut madyapada, yakni pratiwi ‘dunia tempat manusia’. Senarai konsep tata ruang masyarakat Sunda yang secara kosmologis selalu bersifat triumvirate ‘tiga serangkai, tritunggal’.
Dalam tatanan tersebut, Masyarakat Sunda mencari makna dunia menurut eksistensinya: menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun dikecualikan. Artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia.
Di sini Gunung/Pasir Reungit atau Cadas Nangtung Pasanggrahan ataupun Selareuma merupakan Madyapada ‘bhuwarloka’ yang menjadi jembatan (Sunda: rawayan) batas antara alam pratiwi ‘dunia manusia’ atau bhuhloka menuju ke Swahloka atau buana. Dinamai Selareuma bukanlah semata mengacu pada ucapan asal-asalan dan semen-mena, melainkan tetap harus dikembalikan konsep dasar kosmologi Sunda.
Dijelaskan istilah selareuma secara morfologi terdiri atas dua kata, yakni sela dan reuma. Kata sela dalam bahasa Sunda artinya ‘celah atau jarak antara dua benda terpisah’, homofon dengan kata séla yang artinya ‘batu’. Kata reuma adalah varian bentuk dari istilah huma artinya ‘lahan perladangan/ perkebunan’, homofon dengan kata réma artinya ‘jari-jemari atau ujung rambut’ (R. Satjadibrata: KBS, 1954; Panitia Kamus LBSS: KBS, 1990; R.A. Danabrata: KBS, 2006).
Demikian pula istilah sela dikenal dalam bahasa Jawa berarti ‘sela, bersela, lapang, senggang’, sedang kan kata séla artinya ‘batu, kemenyan, intan, pelana, sela, ringka, ringga (gajah)’ (Prawiroatmojo, BJI. 1981). Dalam bahasa Jawa Kuno, sela dapat diartikan ‘selang, celah, antara; sedangkan séla adalah ‘batu’ (Mardiwarsito, KJKI. 1978; Zoetmulder, OJED. 1982). Akan tetapi Baik dalam bahasa Jawa masa kini maupun bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan kata réma juga reuma atau pun huma.
Namun secara morfologi ditemukan bahwa dalam bahasa Sunda, kata Selareuma artinya ‘celah atau jarak di antara lahan perladangan atau perkebunan’; atau sélareuma ‘batu atau bebatuan di lahan perladangan/perkebunan’. Selaréma juga merujuk arti ‘celah atau jarak antara jari-jemari atau ujung rambut’; sélaréma artinya ‘batu atau bebatuan bercelah seperti jari-jemari/ujung rambut’. Dengan demikian, istilah selareuma, selaréma, juga selahuma merupakan bentukan kata asli dalam bahasa Sunda.
Selareuma atau sélareuma identik dengan selahuma mengandung pengertian sebuah tempat ladang bebatuan yang tegak berderet bagaikan jari-jemari; sementara itu istilah pasanggrahan secara morfologis terdiri atas kata dasar sanggrah yang artinya ‘menyimpan sementara (barang atau orang) sementara waktu’ mendapat gabungan awalan pa- dan akhiran –an yang berfungsi membentuk kata tempat atau lokasi. Jadi pasanggarahan artinya ‘tempat atau rumah peristirahatan sementara untuk bermalam para pejabat atau tamu penting’.
Senarai data tekstual (sumber tertulis) dan data kontekstual (data arkeologi) kini nyata bahawa Gunung/Pasir Reungit – Selareuma – Pasangggrahan merupakan tempat sementara persinggahan
“axis mundi” karena itu Selahuma (baca : Selareuma) dalam Serat Purusangkara disebutkan sebanyak 25x penyebutan, pada bagian yang menyebutkan istilah Selahuma merujuk pada nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris. Istilah yang sangat Sunda mencakup berbagai makna yang teramat dalam yang merujuk kepada kegiatan berladang (agraris) di dalam melangsungkan kehidupan sehari-hari (sensorable-message) yang juga dipakai untuk menamai hingga ke alam kalanggengan (unsensorable-message).
Gunung/Pasir Reungit adalah ‘AXIS MUNDI’ alam sela/Madyapada, dan bukan kebetulan pula jika bentuk-bentuk tonggak batu menjulang “menhir” ini disediakan alam (proses geologi), sesuai konsep kepercayaan Sunda, layaknya untaian reuma ‘alam celah’ pemberhentian sejenak, perjalanan jiwa/sukma/roh selanjutnya menuju ke alam lebih tinggi yaitu buanasapta atau saptaloka yang dalam tatanan Kabuyutan Sumedanglarang adalah Gunung Tampomas.
Alam sementara atau alam sejenak adalah adalah alam gaib yang dalam Serat Purusangkara disebutkan sebagai berikut:
“. . . Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan juga Kala itu sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua raksasa yang melindungi seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai Selahuma, sedangkan yang menjadi raja adalah Kala, dengan julukan (Hal.135) Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang dibawa Prabu Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan semua keturunan Wisnu”. Sanghyang Girinata bertanya kembali, “Mengapa sampai tiba-tiba hendak berbuat salah kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada aturan saya . . . ”
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun demikian, para penghuni tempat tersebut dapat dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib, yakni: Sanghiyang Girinata, Sanghiyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghiyang Kala dan Sanghiyang Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam naskah Sang Hyang Hayu termasuk alam saptabuana atau buanapitu. Artinya bahwa lokasi Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki fungsi magis dalam tatanan ruang bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya.
Tidak perlu dipertanyakan dan diragukan mengapa pada lahan Gunung/Pasir Reungit tidak ditemukan artefak (hasil buatan manusia) kecuali benda-benda yang merupakan sumber daya alam. Artefak-artefak (situs-situs) ditemukan justru berada dan terletak disekeliling Gunung/Pasir Reungit. Karena Gunung/Pasir Reungit merupakan lahan dalam kosmologi Sunda merupakan gerbang ke alam Kahiyangan sebelum menuju ke Gunung Tampomas.
Selaras pemilihan dan penmpatan lahan lingkungan (ecological factor:faktor ekologis) sebagian besar Kabuyutan Tatar Sunda menempati lahan gunung, bukit-bukit, atau dataran-dataran tinggi di lingkungan pegunungan; juga dekat aliran atau pertemuan sungai besar; juga bentuk dan konsep continuity, bangunan kabuyutan dilandasi kepercayaan yang dianut masyarakat dengan budaya Megalitik yakni penghormatan kepada leluhur.
Lahan-lahan ekologis yang dipilih tersebut merupakan pusat atau sumber dan sarat dengan
kandungan daya dalam menunjang sarana kehidupan manusia, tidak hanya berlaku bagi
bangunan suci, juga hunian sekaligus mencerminkan landasan keyakinan pokok yakni menghormati leluhur (Karuhun; Rumuhun) yang diistilahkan Hiyang.
Para pakar sependapat bahwa pengaruh India di Nusantara identik dengan hadirnya agama Hindu-Buda ditandai oleh sejumlah besar bangunan dengan latar keagamaannya, mengakibatkan kekunaan sejarah selalu diukur dan dinilai melalui penetrasi kebudayaan Hindu-Buda. Mengesankan seakan-akan seluruh masyarakat Nusantara memeluk Hindu-Buda padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Seorang sarjana Belanda bernama C.M.Pleyte (cf. Danasasmita l975:37) pernah menegaskan: ““Hinduisme i.e. Sivaism made its entry into the Pasundan but wether it ever became popular
is rather doubtful, as not more about half a score of images belonging to the Sivaitic pantheon have been discovered, whilst such temples and monasteries as ain Middle and Eastern Java sought for in vain. It is fair to conclude therefore, that while a few of the native princes did perhaps adopt the foreign religion, the bulk of the population remained true to their original creed founded on animism and ancestor worship”.
Sejak awal Masyarakat Sunda akrab dengan kehidupan berladang dan identik dengan sebutan masyarakat peladang tidak memberi peluang subur untuk pertumbuhan kultur Hindu melainkan sebaliknya tradisi megalitiklah yang tetap bertahan sebagai esensi dari kehidupan spiritualnya.
Leluhur (hiyang) adalah unsur pemujaan tertinggi yang mewarnai pusat-pusat keagamaan
(kabuyutan) di Tatar Pasundan, Jawa Barat.
Kabuyutan merupakan khas carek masyarakat Tatar Sunda yang dituliskan di dalam beberapa sumber tertulis, diantaranya karyasastra Kabuyutan ti Galunggung dan piagam resmi kerajaan sebagai Piteket dang dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharajadhiraja Sri Sang Ratudewata. Raja yang untuk kesekian kalinya memimpin dan mempersatukan pusat Kerajaan Galuh (wetan–kidul) dengan pusat Kerajaan Sunda (kulon-kaler) ke dalam satu panji kekuasaan mutlak Pakwan Pajajaran.
Kedudukannya sebagai ‘maharaja’ inilah yang membuatnya memiliki kedudukan mutlak sebagai pemimpin politik dan pemimpin keagamaan. Karena itu beliau bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan alam dan segenap rakyatnya, diantaranya dengan membuat ‘piteket’ mengamankan seluruh gunung sebagai sumberdaya alam dimana di dalamnya terdapat (ditempatkan) bangunan suci kerajaan ‘khas’ Sunda yakni Kabuyutan yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya.
Berkaitan kepada konsep yang hingga kini tetap diberlakukan dengan ketat pada komunitas Kanekes (Baduy di Banten Selatan) bahwa ngabaratapakeun nusa “apa yang telah dianugrahkan oleh Sang Cipta tidak boleh dirubah melainkan harus diperlakukan dan dipulasara sebagaimana adanya, tanpa merubah apalagi dengan mengeksploitasinya”. Maka Kabuyutan di Tatar Sunda selalu mengimposisi kepada lingkungan dan bukan memodifikasi, jikalaupun ada atau diperlukan perubahan akan dilakukan seperlunya tanpa merusak tatanan aslinya.
Kabuyutan dengan corak tradisi Megalitik adalah representasi pengulangan tingkah laku ke dalam simbol-simbol keagamaan yang khas Sunda. Bangunan keagamaan didirikannya dengan ciri dan karakter sesuai latar belakang budayanya. Sebagaimana istilah kabuyutan identik dengan istilah Sunda Wiwitan, ajaran yang menjadi landasan dasar paling azasi dan mewarnai sebagian besar warisan aktivitas budaya Tatar Sunda.
Rangkaian tingkahlaku yang secara ”nirsadar” telah terbentuk dari endapan pengalaman pribadi di masa lampau, dengan dipilihnya corak tradisi megalitik, tiada lain adalah penstrukturan kepribadian sejalan motivasi dan kemampuan. Di dalam upaya Masyarakat Tatar Sunda menjembatani diri, memberi arah kehidupan sesuai tuntutan sosial budaya keagamaan.
Continuity kentalnya tradisi megalitik pada hakekatnya mencerminkan perilaku kognitif kesinambungan pengakuan peran leluhur terhadap keberadaan kehidupan dunia. Dengan kata lain kabuyutan adalah kepribadian Masyarakat Tatar Sunda di dalam dimensi ruang, bentuk dan waktu.
Kiranya perlu dikemukakan bahwa tidak satu kata maupun istilah yang pernah disebut dalam seluruh sumber tertulis (textual data) yang berhasil ditemukan di Mandala Sunda (Tatar Sunda), yang mencantumkan kata “Candi” untuk menyebut bangunan suci atau pusat upacara keagamaan, melainkan Kabuyutan. Istilah logis mengacu konsepsi dasarnya yakni penghormatan kepada leluhur, dengan aspek dan perangkat pusat upacara keagamaan termasuk faktor keselarasan lingkungan turut dipertimbangkan sehingga memperlihatkan ciri dan karakter khas sesuai lingkup lahannya.
Bangunan keagamaan yang bentuk dan gayanya sangat jauh berbeda dengan bangunan suci pengaruh Hindu-Buda yang disebut Candi. berhasil ditemukan dicirikan oleh kemegahan artefak-artefaknya yang artifisial, bentuk yang jauh berbeda dengan bangunan keagamaaan di Tatar Sunda yang sebagian besar warisan aktivitasnya ketika ditemukan itu tidak lebih daripada sejumlah besar bongkah dan kerakal andesit berserakan, tidak tampak sebagai bangunan tertentu melainkan lahan dipenuhi batu.
Inilah ciri atau variabel yang sekaligus menegaskan khas bangunan Kabuyutan:
- selalu ditemukan pada suatu dataran tinggi, bukit atau gunung atau lahanlahan tertinggi diantara
sekitarnya yang sarat dengan sumberdaya alam
- kabuyutan merupakan mandala gaib puseur dangiang, tahta para leluhur, atau karuhun, karenanya
bukit atau gunung dimana pun berada dipercaya sebagai pusat paragi ngahiyang (parahiyangan)
- gunung, bukit atau dataran tinggi identik dengan kabuyutan itu sendiri umumnya terletak sebagai
batas desa atau batas suatu pemukiman
Bangunan Kabuyutan, di satu pihak secara tegas menggugurkan asumsi di Tatar Sunda tidak ada atau sangat jarang ditemukan bangunan keagamaan, dilain pihak memberi peluang intentitas budaya tentang bagaimana sesungguhnya Kabuyutan masyarakat Tatar Sunda pada masa tatanan pemerintahan masih bercoarak kerajaan (Monarki absolut).
Bukit/[Pasir] Reungit dengan keberadaan dan kandungan sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak tersusun rapi dengan kemiringan sekitar 60° ke arah timur. Lahannya terletak di lingkungan pegunungan termasuk dalam rangkaian Dataran Tinggi Parahiyangan yang marupakan “benteng pakidulan” dan kawasan hulu (girang) aliran sungai-sungai Tatar Sunda; seperti kenyataannya bahwa aliran (sungai) Cipeles bermuara ke timur yakni Cimanuk.
Semua tatanan fisiografis tersebut bukan semata kebetulan belaka, melainkan fakta bahwa Pasir Reungit berorientasi ke timur “Leluhur alias Karuhun” yang mengawali kehidupan. Selaras tataran waktu, sejarah mencatat raja-raja Sumedang keturunan raja-raja yang pernah berjaya di masa lalu berpusat di wetan yakni Kerajaan-kerajaan pendahulunya Talaga hingga ke GALUH yang menjadi PANGRUHUM kerajaan-kerajaan di PAKIDULAN atau PRIANGAN TIMUR.
Batu tonggak yang tersusun rapih tersebut sebagian besar menunjukkan ciri khusus yakni bagian badan yang diletakkan di bawah (di atas tanah) menunjukkan permukaan yang rata, sedangkan bagian badan mendongak ke atas berpermukaan kerucut semu “seperti bekas dipangkas kasar” bukan pula kebetulan, namun berkait kepada pola alami bahan bangunan yang secara umum ditemukan pada sebagian besar Kabuyutan di Tatar Sunda khususnya yang mengambil corak tradisi Megalitik.
Kabuyutan adalah mandala kerajaan maka setiap kerajaan selalu memilikinya., karena itu Kabuyutan disebutkan dalam karyasastra Kabuyutan ti Galunggung sebagai timbang taraju jawadwipa mandala.
Maka bukan asal berkata jikalu Warga Pribumi yang termasuk dalam katagori senior (sesepuh) yang menjabat sebagai ketua yayasan Kraton Sumedang Larang menyampaikan kepada KaPolWil Priangan Kolonel Anton (pers.com mobile: 12 November 2009) bahwa Pasir Reungit bagi masyarakat Sumedang merupakan “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”.
Selaras dengan yang digambarkan oleh Pantun Lutung Kasarung: “Gunung Cupu Mandala-hayu, Mandala Kasawiatan, di Hulu Dayeuh, dina cai nu teu inumeun, dina areuy nu teu tilaseun, dina jalan teu sorangeun, sakitu kasaramunan..”
Bahkan lebih tegas dinyatakan oleh pakar Sunda (almarhum) Prof.Dr. Ayatrohaedi:
“Bangunan suci masayarakat Tatar Sunda tidak selalu harus diidentifikasi sebagai bangunan dengan artefak atau struktur seperti bangunan suci yang dimengerti masyarakat umumnya (candi); atau bangunan lengkap dengan fondasi, dinding dan atap, melainkan lahan bukit alam atau dibuat lambang suatu bukit (bukit buatan = gugunungan) dengan vegetasi hutan yang dibiarkan tumbuh alami…”
Maka sesuai kenyataannya bahwa sautu Kabuyutan selalu ditemukan pada suatu bukit, gunung, dataran tinggi di lingkungan pegunungan, sekaligus menjadi batas/ujung lahan suatu pemukiman/
hunian (hulu dayeuh) di sekitarnya, sehingga yang nampak tidak seperti megahnya “bangunan candi Borobudur” melainkan tiada lain gunung yang dipenuhi serakan batu berbagai bentuk di tengah-tengah kawasan hutan lebat. Sejauhmana dan bagaimana bentuk dan tatanan Pasir Reungit ketika masih berfungsi dan digunakan pemangku budaya, tidak dapat dijelaskan.
Jelas Gunung/Pasir Reungit dengan seluruh yang nampak ke permukaan, ditunjang letaknya di wilayah Dataran Tinggi Parahiyangan sebagai “BENTENG PAKIDULAN’ dengan tatanan alami yakni “mengimposisi” pada (alam) lahan bukit, juga kandungan benda-bendanya yang dimanfaatkan sesuai bentuk alaminya, yang merupakan variabel –varibel penunjang, maka tegas disebutkan Gunung/ Pasir Reungit adalah Situs “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”.
Dalam pengertian seluasluasnya Gunung/Pasir Reungit adalah salah satu Kabuyutan Cadas Nangtung disebut:
“Mandala Kasawiatan nu aya di Hulu Dayeuh,
dina cai teu inumeun,
dina areuy teu tilaseun,
dina jalan sorangeun
sakitu kasaramunan”
Kawasan yang dahulu merupakan hutan lebat “leuweung geledegan” kondisi dan karakter lahan seperti inilah tempat dan lokasi yang senantiasa dipilih dan ditempatkan Kabuyutan bagi masyarakat Tatar Sunda sejak masa paling awal,
Berdasar pernyataan tentang BCB 1992 bahwa “dalam wacana para Arkeolog sepakat bahwa pengertian ‘situs’ sebagai kawasan adalah lahan yang relatif luas, yang berada dan mengandung sebaran sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan atau dalam satuan ruang (spatial clustering sites)…”. Gunung/Pasir Reungit dengan situs-situs Kabuyutan yang terletak di sekelilingnya (dalam bentang keruangan delapan arah mata angin) tidak hanya berdekatan dalam hal keruangannya (space), juga memiliki kedekatan dalam bentuk (form) dan waktu dalam sejarah kebudayaan Sumedanglarang”
Hasil kegiatan lapangan membuktikan pula Gunung/Pasir Reungit merupakan SITUS ke dalam katagori Locality Site dalam Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas Nangtung di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya lintas masa Sejarah Sumedanglarang.
5. Penutup
Kiranya, setiap situs memiliki karakter yang unik dan khas sesuai pengalaman pengetahuan budaya masyarakat pendukung yang telah dijiwai sejarah masa lampaunya, maka tidak semua situs arkeologi dapat digeneralisasi begitu saja, apalagi dengan kondisi pengetahuan si peneliti yang kerap terbatas hanya pada pilihan bidang-bidang minat spesialisasi tertentu.
Andaikan di era globalisasi saat ini masih terbersit hasrat untuk melirik sejarah dan kearifan lokal budaya masa silam, hal itu cukup arif, karena jika kita cermati secara seksama, tanpa kita sadari banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun terdahulu yang bisa kita gali dan kita ungkapkan di masa kini. Lain daripada itu, harus diakui bahwa di era globalisasi sekarang, ada kecenderungan bahwa masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya ‘pituin’ kita sendiri.
Globalisasi memang tidak bisa kita hindari, namun kita dituntut agar pandai memilih dan memilah budaya asing yang masuk, serta lebih menghargai peninggalan warisan budaya karuhun kita di atas kepentingan pribadi, karena warisan budaya nenek moyang kita jauh lebih berharga dan tidak bisa diukur dengan materi semata.
Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah naskah, karena naskah dapat dipandang sebagai dokumen budaya yang berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari bangsa atau sekelompok sosial budaya tertentu.
Oleh karena itu beberapa hal menarik dari naskah, prasasti, maupun tradisi lisan, baik itu tuntunan moral, sistem pemerintahan, kepemimpinan, kosmologis, topografi, pandangan hidup, situs atau ‘kabuyutan’, maupun unsur budaya lain yang dapat memberi sedikit gambaran sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta kosmologis masa lampau yang masih sangat relevan untuk dicermati dan dikaji guna menunjang mengungkapakan data arkeologi yang sifatnya sangat terbatas. Maka sebagai sumber informasi, dipastikan naskah-naskah buhun termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya.
Terutama karena menyangkut isinya yang menyiratkan aspek-aspek kehidupan masyarakat meliputi kondisi sosial dan budaya, religi, teknologi, ekonomi, kemasyarakatan, pendidikan, bahasa, dan seni.
Dalam kaitan ini warisan karuhun orang Sunda disebut ‘kabuyutan’ Gunung/Pasir Reungit ada hubungannya dengan salah satu naskah Sunda berjudul Puru Sangkara yang secara faktual mengungkapkan keadaan sosial pendukung budaya tatkala ‘kabuyutan’ tersebut masih berfungsi. Ditunjang oleh tradisi lisan berupa folklore yang berkembang di masyarakat sekitar daerah tempat Gunung/Pasir Reungit berada.
Hal itu membuktikan bahwa naskah bukan isapan jempol belaka, tidak dianggap dan tidak dihargai, apalagi diremehkan keberadaannya. seluruh kabuyutan yang ada di daerah Sumedang Selatan, maka terlihat bahwa sebagian besar kabuyutan terletak di daerah perbukitan landai, dan hanya sedikit di perbukitan terjal, dan tidak ada di daerah lembah yang datar, sehingga kalau dihubungkan dengan aspek arkeologis, kosmologis, antropologis dan lain-lain, maka sangat wajar dan menunjukkan “KEHEBATAN DAN KEGENIUSAN PENGALAMAN PENGETAHUAN PARA BUYUT” YANG MAMPU MEMILIH LOKASI YAKNI KEHIDUPAN YANG MENYATU DENGAN ALAM, MEMBUAT MEREKA SANGAT MEMAHAMI ASPEK LINGKUNGAN DAN DAPAT MEMILIH DAERAH “YANG RAMAH LINGKUNGAN” UNTUK SELURUH KEHIDUPANNYA TERMASUK ASPEK RITUALITASNYA!
Dari hasil kegiatan lapangan (data kontekstual) ditunjang berdasarkan (data tekstual) kutipan teks naskah Carita Ratu Pakuan, tercatat nama Sumedang-larang (dalam teks lengkap dicatat 4x), Pagulingan, dan Cadasgantung ditulis dengan Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih Gumalasar.
Dicatat pula Sanghiyang Karang Curi yang artinya sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah nama lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik (tiga kali). Tegas dan nyata bahwa Gunung/Pasir Reungit merupakan SITUS ke dalam katagori Locality Site Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas Nangtung di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya lintas masa Sejarah Kebudayaan Sumedanglarang.
CagAMBU
Bintaro, Desember 2009Richadiana Kadarisman Kartakusuma