Pada 1746, salah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda keturunan Jerman yang memiliki reputasi baik ini menggabungkan sembilan distrik (Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga dan Kampung Baru) ke dalam satu pemerintahan yang disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Dalam perkembangan berikutnya, nama Buitenzorg dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.
Pembabatan hutan besar-besaran terjadi pada abad ke-19, dimana Puncak akan dijadikan perkebunan teh. Selama hampir dua abad sampai sekitar 1920-an, alih fungsi Puncak dari hutan menjadi perkebunan dan lokasi peristirahatan bagi Gubernur Jenderal terus berlangsung.
Sesungguhnya, pada masa kolonial masalah penebangan pohon mendapat perhatian yang sangat ketat dari pemerintah. Jika bukan untuk keperluan pemerintah atau Gubernur Jenderal, tak ada yang boleh menebang pohon sembarangan.Meskipun tanah-tanah partikelir dikuasai oleh para tuan tanah, penebangan pohon hanya diizinkan terhadap pohon-pohon yang sudah mati. Pemilik tanah tetap tidak boleh menebangi pohon yang tumbuh di atas tanahnya tanpa seizin pemerintah. Apabila ada tuan tanah yang berani menebang pohon hidup tanpa seizin pemerintah, ia akan didenda sebesar 25 gulden. Bahkan hakim polisi dapat mengadili mereka yang menebang pohon yang sudah mati, karena hal tersebut dikategorikan sebagai pencurian kayu pohon.
Pengadilan negeri akan menangani mereka yang tersangkut masalah penebangan pohon jika angkanya lebih dari 25 gulden. Dalam koran Bataviasche Landbouw Vereeninging terbitan 30 Agustus 1915, dibahas masalah penebangan pohon ini, dimana telah terjadi sebanyak 208 kasus.
Jalanan di Puncak pada 1915.
Ketika masa kolonial berakhir, perkebunan teh dialihkan ke pemerintah Indonesia di bawah PT. Perkebunan Nusantara VIII. Bersamaan dengan itu, alih fungsi Puncak mulai meningkat, dimana seiring dengan pertumbuhan penduduk di wilayah Bogor dan sekitar.Jika pada 1975, saat terjadi pemekaran wilayah Jabodetabek, jumlah penduduk Bogor baru 1.855.981 jiwa, meningkat pada 1980 menjadi 2.823.201 jiwa. Di tahun itu pula,jalan tol Jagorawi dioperasikan oleh PT. Jasa Marga, sehingga memudahkan akses ke Bogor maupun Puncak. Kondisi itu memudahkan orang Jakarta menuju Bogor dan kemudian ke Puncak.
Luas pemukiman Puncak pun meningkat menjadi 64 kali lipat dalam waktu 22 tahun, sejak 1970-an. Pengalihan wilayah dari hutan dan perkebunan menjadi vila dan pemukiman begitu cepat meningkat.Vila-vila tumbuh di wilayah ini. Di antara vila-vila tersebut ada yang berdiri di atas bekas perkebunan teh Ciliwung, Gunung Mas. Dampak dari pembangunan vila-vila tersebut, ketika hujan tiba, air hujan langsung masuk ke anak-anak sungai Ciliwung dan menyebabkan banjir di Bogor maupun Jakarta. Tidak ada lagi kemampuan resapan air, karena penebangan pepohon di wilayah tersebut.
Tahukah Anda? Kawasan hutan dapat menahan air hujan 85-98 persen. Lalu kawasan perkebunan berdaya serap 37-79 persen. Ketika kawasan Puncak menjadi kawasan pemukiman atau dibuat vila, maka daya serapnya tinggal 30-65 persen. Akibat alih fungsi ini, air dari Puncak menyumbang 17 meter kubik yang masuk ke Jakarta, karena daya serap kurang. Sementara di perkotaan, daya serap cuma mampu 5-50 persen. Jadi jangan heran jika Jakarta selalu banjir.
Menurut buku Gagalnya Sistem Kanal karya Restu Gunawan (Kompas, 2010, hal 94). Setiap tahun, berdiri vila-vila baru di bekas perkebunan teh Ciliwung, yang menyebabkan kehilangan lahan sekitar 600 hektar. Lahan-lahan ini dijarah oleh warga. Konon, sudah sejak 1970-an, perkebunan Ciliwung, yang luasnya sekitar 300 hektar, dikuasai oleh penggarap.
Kompasianers, pengalihan fungsi lahan ini sangat terkait dengan keberadaan biong. Biong adalah istilah untuk makelar yang menjadi perantara petani penggarap dengan kalangan berduit, yang ingin memiliki vila di kawasan Puncak. Biong sendiri artinya Biang Bohong.
Keberadaan Biong ini diakui sendiri oleh Haji Teteng yang konon seorang biong tersohor di Gunung Mas. Menurutnya, biong ini melibatkan RT/ RW dan aparat setempat, pihak perkebunan, dan notaris untuk melakukan pengalihan fungsi lahan menjadi vila.
Pada 1980-an, tanah garapan per meter dihargai Rp 2.500 sampai Rp 100.000. Harga itu tergantung dari lokasi tanah yang akan dibuat vila. Jika panoramanya luar biasa, tentu tanah akan mahal harganya, begitu pula sebaliknya. Begitu tanah sudah dibeli, para biong juga menawarkan jasa untuk mengurus izin pembangunan vila. Belum cukup, biong juga menawarkan jasa lain, seperti menyediakan SDM untuk membuat vila, membuat jalan masuk, dan menjadi penjaga vila.
Sampai kini, biong-biong masih tetap eksis. Sampai menjadi penjaga vila, mereka masih berprofesi sebagai makelar. Jika bukan menjadi makelar tanah, biasanya para biong juga menjadi makelar wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) yang siap melayani pria hidung belang penyewa vila. Tentu Anda tahu, ketika kita menyisir kawasan Puncak, banyak pria-pria yang memberikan kode dengan menggunakan lampu senter dan menwarkan: “Vila! Vila! Vila!”. Mayoritas dari mereka itu adalah biong.
Akang Jaya