This writing focuses on the study of Nabia Abbott’s theories on the growth of isnâd and the written transmission of Prophetic hadîth. This research is significant to do because there were misunderstandings from the students of Prophetic hadîth in the West, like Ignaz Goldziher who said that the growth of Prophetic hadîth in a big quantity in the second and the third century A.H. is caused by the fabrication of the text (matn) of Prophetic hadîth and that in early Islam, hadîth was transmitted orally only and there is no written document in the process of its transmission. Different from Ignaz Goldziher ideas, Nabia Abbott of the opinion that the phenomenal growth of hadîth in the second and the third century A.H. was not caused by the growth of the text (matn) of hadîth, but by the parallel and multiple growth of isnâd (chain of transmission). Beside that, Nabia Abbott of the opinion that the practice of writing hadîth was occurred since early Islam, namely that the members of family of Muhammad peace be up on him, his Companions and his clients wrote hadîth and preserved these writings, and continuously, namely that most of hadîth was transmitted orally and its transmission goes hand in hand with the transmission of written documents until the hadîth was compiled in the canonical hadîth collections.
Keywords:
Isnâd, Pertumbuhan isnâd, periwayatan tertulis, sumber tertulis
Pendahuluan
Ada empat hal yang membuat Ignaz Goldziher (1850-1921 M) meragukan autentisitas hadis. Pertama, materi-materi hadis yang terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak menjelaskan rujukannya kepada koleksi tertulis yang lebih awal dan menggunakan istilah-istilah dalam isnad yang menunjukkan periwayatan hadis secara lisan dan bukan sumber tertulis (written sources). Kedua, adanya hadis-hadis yang kontradiktif satu sama lain. Ketiga, pertumbuhan hadis pada koleksi-koleksi belakangan tidak teruji kebenarannya pada koleksi-koleksi yang lebih awal. Keempat, adanya fakta bahwa para shahabat kecil lebih mengetahui Nabi saw., yakni mereka meriwayatkan lebih banyak hadis daripada para shahabat besar yang telah mengetahui Nabi saw. dan bergaul dengannya jauh lebih lama.[1]
Pandangan Ignaz Goldziher ini telah dikritik oleh Nabia Abbott (1897-1981 M) setelah ia meneliti dokumen-dokumen hadis masa awal. Dari perdebatan yang cukup hangat itu, penelitian ini difokuskan pada teori-teori Nabia Abbott dalam bukunya, Studies in Arabic Literary Papyri, Vol. II (Qur`anic Commentary and Tradition) khususnya tentang persoalan pertumbuhan isnad hadis dan periwayatan hadis secara tertulis serta berbagai impilaksi yang ditimbulkan dari teori-teori itu terhadap autentisitas kitab hadis dan watak ilmu hadis. Ada beberapa pertimbangan yang cukup penting yang membuat kajian ini perlu dilakukan. Pertama, pendapat-pendapat Nabia Abbott ini diharapkan mampu mengoreksi dan mengkritisi pandangan Ignaz Goldziher tentang beberapa sebab terjadinya gerakan pemalsan hadis dalam skala besar yang membuat Goldziher meragukan autentisitas hadis. Kedua, belum adanya tulisan atau penelitian yang cukup serius tentang padangan-padangan Nabia Abbott mengenai masalah di atas. Ketiga, Nabia Abbott adalah tokoh yang cukup penting dalam kajian hadis di dunia Barat. Bahkan kalau karya-karya diobservasi dengan sungguh-sungguh, akan terlihat bahwa argumen-argumen M.M. Azami, ahli hadis kenamaan pada masa sekarang ini, tentang autentisitas hadis sebenarnya berpijak dan sangat berhutang budi kepada teori-teori Nabia Abbott.
Kehidupan Nabia Abbott dan Karya-karyanya
Sebelum mendiskusikan teori-teori Nabia Abbott tentang pertumbuhan isnâd dan periwayatan hadis secara tertulis, perlu kiranya diungkapkan latar belakang kehidupannya, pendidikannya dan karir akademisnya. Ini penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pikirannya.
Di mata teman-teman sejawatnya, Nabia Abbott adalah seorang ilmuwan. Hal ini saja membuatnya sebagai tokoh yang luar biasa. Pada tahun 1933, ia adalah perempuan pertama yang menjadi anggota the Oriental Institute, Universitas Chicago dan pada tahun 1963, ia menjadi Professor Emeritus. Dalam sebuah penghargaan yang diterbitkan di laporan tahunan Institute tersebut pada tahun 1974/5, Dr.Muhsin Mahdi, Professor bahasa Arab dan Ketua Departemen Near Eastern Languanges memberi komentar tentang berbagai diskriminasi yang harus dihadapi oleh Nabia Abbott sebagai seorang wanita profesional di masa pra-kebebasan dan menyebut berbagai keberhasilan utamanya seperti, karya pionirnya tentang kedudukan wanita di Timur Tengah, studi klasiknya tentang munculnya naskah Arab Utara; penyelidikannya yang masif, melelahkan dan pembuka jalan terhadap papyrus Arab yang pada gilirannya telah merevolusi kajian kebudayaan Islam awal.[2]
Pada awalnya, kehidupan Abbott tampaknya merupakan satu gerakan terus menerus. Ia dilahirkan di Mardin, Barat-Daya Turki pada tanggal 31 Januari 1897. Ayahnya adalah seorang pedagang. Ketika ia masih kecil, ia mengembara bersama keluarganya dalam sebuah iring-iringan tertutup dalam sebuah kafilah ke Mosul dan mengarungi sungai Tigris ke Baghdad. Sesudah itu, keluarga tersebut bergerak terus untuk kemudian menetap di Bombay, India. Di India, Abbott mendapatkan sebagian besar pendidikannya, masuk ke sekolah-sekolah berbahasa Inggris. Ketika perang dunia pertama, ia mengambil jenjang B.A. di Lucknow’s Isabella Thorbom College untuk anak-anak perempuan dan lulus pada tahun 1919. Setelah perang usai, ia sempat mengunjungi Irak dalam waktu singkat di mana ia terlibat dalam pendirian program pendidikan perempuan, sebuah permasalahan yang terus menarik baginya di tahun-tahun selanjutnya.[3]
Keluarganya kemudian pindah ke Amerika Serikat, di mana ia mengiringi mereka dan mengambil jenjang masternya di Universitas Boston dan lulus pada tahun 1925. Kemudian, Ia pertama-tama menjadi anggota fakultas dan kemudian menjadi Ketua Departemen Sejarah di Asburry College di Wilmore Kentuky di mana ia tetap bekerja di sana hingga tahun 1933.
Ketika keluarganya pindah ke Chicago pada tahun itu, ia bekerja di bawah Martin Sprengling, Professor bahasa Arab di Oriental Institute dan memulai karirnya di sana dengan mengkaji koleksi Institute tersebut yang berisi dokumen-dokumen Islam awal yang sangat langkah. Untuk melakukan hal ini, ia membenamkan dirinya sendiri dalam sejarah masyarakat Islam awal, yang darinya ia mulai tertarik dengan kedudukan wanita dalam masyarakat Islam.[4]
Sebagai seorang ilmuan, Nabia Abbott meninggalkan beberapa karya yang cukup monumental yang meliputi kajian tentang Quran, hadis, dan juga kajian wanita, di antaranya adalah:
1. The Monasteries of the Fayyum. University Microfilms, 1937.
2. The Kurrah Papyri from Aphrodito in the Oriental Institute. University of Chicago Press, 1938.
3. The Rise of the North Arabic Script and Its Kur`anic Development, with a Full Description of the Kur`an Manuscript in the Oriental Institute. University of Chicago Press, 1939.
4. A`ishah – The Beloved of Mohammed. The University of Chicago Press, 1942.
5. Two Queens of Baghdad. The University of Chicago Press, 1946.
6. “Women and the State in Early Islam”, in Journal of Near Eastern Studies I (1942)
7. “Women”, in Rut Nanda Anshen, ed., Mid-East World Center Yesterday, Today and Tomorrow, Science of Culture Series Vol. 7, New York 1956.
8. Studies in Arabic Literary Papyri, Vol. II Qur`anic Commentary and Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1967.
9. “Hadith Literature: Collection and Transmission of Hadith,” dalam A.F.L. Beeston and Others (eds.) Arabic Literature to the End of Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.
Pertumbuhan Isnâd Hadis
Nabia Abbott, seorang orientalis terkemuka yang telah melakukan penelitian secara luas dan sungguh-sungguh terhadap kitab hadis dan papyrus Arab, mengamati bahwa pertumbuhan fenomenal kitab hadis itu bukan disebabkan oleh pertumbuhan di dalam matan hadisnya, tetapi oleh pertumbuhan jalur isnâd secara berlipat ganda. Dengan kata-katanya sendiri, Abbott mengatakan demikian,
…the tradition of Muhammad as transmitted by his Companions and their Successors were, as a rule, scrupulously scrutinized at each step of the transmission, and that the so called phenomenal growth of Tradition in the second and the third centuries of Islam was not primarily growth of content, so far as the hadith of Muhammad and the hadith of the Companion are concerned, but represent largely the progressive increase in parallel and multiple chains of transmission.[5]
Sebagai contoh, seorang shahabat meriwayatkan satu hadis kepada dua orang tabiin dan dua orang ini meriwayatkan hadis yang sama kepada dua orang periwayat hadis pada generasi berikutnya. Jika rangkaian periwayatan ini terus berlanjut hingga generasi (thabaqah) keempat dan kedelapan yang mewakili generasi al-Zuhri dan Ibnu Hanbal, maka pada generasi keempat, jumlah isnâd mencapai angka 16 dan pada generasi kedelapan, jumlah itu berlipat ganda hingga 256 jalur. Oleh karena itu, dengan menerapkan deret ukur (geometric progression) secara matematis, Nabia Abbott menyimpulkan,
…Using geometric progression, we find that one to two thousand Companions and senior Successors transmitting two to five traditions each would bring us well within the range of the total number of traditions credited to the exhaustive collections of the third century. Once it is realized that the isnad did, indeed, initiate a chain reaction that resulted in an explosive increase in the number of traditions, the huge numbers that are credited to Ibn Hanbal, Muslim and Bukhari seem so fantastic after all.[6]
Contoh Pertumbuhan Isnâd hadis
Sebelum menerangkan implikasi dari ledakan pertumbuhan isnâd, perlu dijelaskan hal-hal pokok dalam ilmu hadis yang terkait dengan masalah isnâd. Setiap hadis terdiri atas matan (teks) dan isnâd (jalur periwayat). Hadis dinilai atas dasar isnâd dan matannya. Fenomena isnâd adalah unik dan hanya ada dalam Islam. Tujuan isnâd adalah membongkar sumber informasi. Pada tahap akhir, sebuah sumber berita harus mengarah kepada seorang periwayat yang memiliki kontak langsung (liqâ`) kepada autoritas yang lebih tinggi yang darinya, berita itu diperoleh. Dengan kata lain, prinsip penilaian hadis sama dengan apa yang dikenal sebagai hukum kesaksian. Ini adalah prinsip yang sangat dikenal di pengadilan hukum di seluruh dunia untuk mengevaluasi atau menguji silang seseorang yang telah berkata atau melihat atau mendengar sesuatu dari seseorang atau dari manapun dan menguji kembali autentisitas pernyataan orang tersebut. Dalam ilmu hadis, verifikasi ini mengambil bentuk baru. Para periwayat hadis diselidiki secara hati-hati untuk meyakinkan bahwa seseorang yang disebut namanya itu dalam faktanya saling bertemu, bahwa mereka dapat dipercaya untuk mengulang berita itu dengan benar dan bahwa mereka tidak menganut pandangan-pandangan bid’ah. Hal ini pada gilirannya menyebabkan munculnya studi-studi tentang rijâl al-hadîts secara luas dan beberapa kamus biografi periwayat telah dihasilkan untuk memberi informasi dasar tentang guru, murid, hubungan guru-murid, pandangan para ulama tentang reliabilitasnya sebagai seorang periwayat dan tanggal wafatnya.[7]
Hadis nomor 8 dari Naskah Suhayl b. Abû Shâlih
‘Abd al-‘Azîz b. al-Mukhtâr – Suhayl b. Abû Shâlih – bapaknya, Abû Shâlih - Abû Hurayrah meriwayatkan dari Nabi saw. Ia bersabda, Allah ta’ala berfirman, “Setiap perbuatan anak cucu Adam adalah untuknya. Setiap Kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu milik-Ku dan Aku (sendiri) akan memberi balasannya. Ia meninggalkan makanan karena Aku, meninggalkan minuman karena Aku, meninggalkan kelezatan karena Aku. Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, maka hendaknya ia tidak melakukan hubungan seks dan tidak berkata kotor. Jika ada yang mengejeknya, hendaknya ia berkata, “sesungguhnya aku sedang berpuasa. Bagi orang yang berpuasa itu dua kebahagiaan: kebahagiaan di waktu berbuka dan kebahagiaan di hari ia bertemu Tuhannya. Bau mulutnya lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak wangi.[8]
Matan hadis ini panjang. Beberapa ulama telah meriwayatkan hadis ini sebagian saja. Ibnu Hanbal telah meriwayatkannya dalam kitab Musnad sekurang-kurangnya dua puluh empat kali. Mengkaji isnâdnya secara lengkap dan bentuk-bentuk finalnya sebagaimana dituturkan oleh para ahli hadis seperti Bukhari Muslim, Ibnu Hanbal dan lain-lain, memerlukan ketekunan yang luar biasa. Setelah meneliti periwayat hadis ini sampai kepada generasi ketiga, yang sebagian besarnya adalah orang-orang yang hidup pada separuh pertama abad kedua Hijrah, hadis ini ternyata mengalami perkembangan sebagai berikut:
Abû Hurayrah setidaknya memiliki sebelas murid yang meriwayatkan hadis ini. Ada yang meriwayatkan secara utuh dan ada yang meriwayatkan sebagian saja. Sembilan orang dari Madinah, satu orang dari Bashrah, dan satu orang dari Kufah. Dari sebelas orang ini, hadis tersebut diriwayatkan oleh dua puluh dua orang. Sembilan orang dari Madinah; satu orang dari Mekkah, empat orang dari Kufah, lima orang dari Bashrah, satu orang dari Wasit, satu orang dari Hijaz, satu orang dari Khurasan.[9]
Ciri yang perlu diamati adalah bahwa tidak semua periwayat Madinah atau periwayat Bashrah atau periwayat Kufah adalah murid-murid dari seorang periwayat yang sama. Sembilan orang murid yang berasal dari Madinah itu memperoleh hadis itu dari tujuh orang guru dari Madinah yang berbeda. Tiga orang dari lima orang murid yang berasal dari Bashrah menerima hadis itu dari seorang guru dari Bashrah, seorang dari mereka menerimanya dari seorang guru dari Madinah dan seorang yang lain lagi menerimanya dari seorang guru yang lain yang juga berasal dari Madinah.[10]
Lima orang dari murid-murid Abû Hurayrah memiliki lebih dari seorang murid.
1. Abû Shâlih al-Madanî
Lima orang muridnya meriwayatkan hadis tersebut darinya. Di antara lima orang ini, dua orang berasal dari Madinah, seorang berasal dari Mekkah, dan dua orang lagi berasal dari Kufah.
2. Ibnu al-Musayyab al-Madanî
Empat orang muridnya meriwayatkan hadis tersebut darinya. Di antara mereka, dua orang berasal dari Madinah, seorang berasal dari Kufah, dan seorang lagi berasal dari Bashrah.
3. Al-Makburî
Dua orang muridnya meriwayatkan hadis tersebut darinya. Seorang berasal dari Madinah dan seorang lagi berasal dari Hijaz, tetapi tempat tinggal aslinya tidak diketahui.
4. Muhammad b. Ziyâd al-Madanî
Ia memiliki tiga orang murid, seorang dari Bashrah, seorang dari Wasit, dan seorang lagi dari khurasan.
5. Ibnu Sîrîn al-Bashrî
Ia mempunyai tiga orang murid, semuanya dari Bashrah.[11]
Apabila tersebarnya sanad pada akhir abad ketiga hijrah diteliti, maka jelaslah bahwa tempat tinggal para periwayat itu saling berjauhan. Setidaknya, ada tujuh shahabat lain yang telah meriwayatkan hadis ini dari Nabi saw. Jika para periwayatnya ditambahkan kepada para periwayat hadis ini dari jalur Abu Hurayrah, maka jumlahnya akan bertambah banyak.
Hadis versi Abû Hurayrah ini diriwayatkan oleh Ibnu Hanbal setidaknya dua puluh empat kali. Lebih jauh, hadis tersebut tersimpan dalam berbagai naskah, seperti Naskah Waqî’ dari A’masy (w. 148), Naskah Ibnu Jurayj (w.150), dan Naskah Ibrâhîm b. Thahmân (w. 168), yang merupakan para periwayat hadis tersebut dari murid-murid Abû Hurayrah. Hadis tersebut juga ditemukan dalam sumber-sumber Syi’ah, Zaidiyah, Abadiyah.[12]
Dari diskusi di atas tampak jelas bahwa isnâd atau jalur periwayatan hadis tersebut yang kembali kepada Nabi dan shahabat mengalami ledakan pertumbuhan secara berlipat ganda. Meskipun demikian, matan hadisnya tidak bertambah. Untuk lebih jelasnya, bukti tentang pertumbuhan isnâd - dari Nabi saw. – shahabat – tabiin – tabiit tabiin – hingga berbagai koleksi hadis kanonik - dapat dilihat dalam diagram isnâd hadis no. 8 dari Naskah Suhayl b. Abû Shâlih berikut ini:
Proses pertumbuhan isnâd seperti tergambar dalam diagram di atas membuktikan bahwa satu matan hadis dapat berkembang menjadi puluhan bahkan ratusan hadis. Yang berkembang di sini bukan matannya, tetapi jumlah jalur isnâdnya. Implikasi yang cukup penting dalam hal ini adalah bahwa pembengkakan hadis dan kitab hadis yang terjadi pada abad II dan III H. bukan akibat dari pemalsuan matan hadis, tetapi akibat dari pertumbuhan jalur isnâd yang berlipat ganda. Tentu saja ini merupakan bantahan terhadap pendapat Goldziher yang mengatakan bahwa hadis banyak dipalsukan dengan bukti pembengkakan matan hadis pada abad II dan III H.
Periwayatan Hadis Secara Tertulis dan Berkesinambungan
Ignaz Goldziher menyatakan bahwa materi-materi hadis yang terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak menjelaskan rujukannya kepada koleksi tertulis yang lebih awal dan menggunakan istilah-istilah dalam isnad yang menunjukkan periwayatan hadis secara lisan dan bukan sumber tertulis (written sources).
Sebagai tanggapan terhadap pandangan Goldziher ini, Nabia Abbott menyatakan bahwa praktek penulisan hadis sudah berlangsung “sejak awal” dan ”berkesinambungan”. Yang dimaksud Nabia dengan kata-kata “sejak awal” adalah bahwa para shahabat nabi sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis, sedangkan kata “berkesinambungan” dimaksudkan bahwa sebagian besar hadis diriwayatkan secara tertulis, selain dengan lisan hingga hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik. Periwayatan hadis secara tertulis inilah yang menurutnya dapat dijadikan sebagai jaminan bagi keshahihannya. Sebagaimana yang ia katakan berikut ini,
Collection of Hadith was begun in Muhammad’s life time by members of his family, client, and close Companions. While several of his secretaries recorded his recitation of the Qu`ran, others attended to his state correspondence. His administrators preserved the documents.[13]
Era yang dipilih oleh Nabia Abbott untuk menguji hipotesanya bahwa hadis sudah ditulis sejak masa hidup nabi mengambil empat periode umum. Pertama adalah periode selama kehidupan Muhammad saw. Kedua adalah periode setelah wafatnya Muhammad saw. ketika ada perkembangan dalam jumlah hadis secara luas yang disebarkan oleh para shahabat hingga datangnya periode Umayyah. Periode ketiga adalah era Umayyah ketika peranan kunci Ibnu Syihâb al-Zuhrî (w. 124/742) ditekankan. Pada periode keempat, berbagai koleksi hadis formal atau hadis yang terkodifikasi muncul pada buku-buku kanonik.[14]
Abbott berpendapat bahwa kegiatan tulis menulis bukan tidak umum di kalangan orang-orang Arab dan bahkan di masa pra Islam. Lebih jauh dikatakan laporan-lapran mengenai Nabi Muhammad saw. telah ditulis semenjak masa hidup nabi saw. Kenyataan bahwa tidak ada naskah yang survive dari periode ini disebabkan oleh sikap ‘Umar I, khalifah pertama (w. 23/644). Karena belum dikenalnya Quran oleh masyarakat di berbagai daerah penaklukan di luar Arab, khalifah mengkhawatirkan perkembanagn Islam akan mengalami nasib yang sama seperti dalam agama Yahudi dan khususnya agama Kristen, yakni adalanya teks suci selain Quran yang menandingi, jika tidak mendistorsi atau merubah Quran. Oleh sebab itu, ia menghancurkan naskah-naskah hadis yang ditemukan dan menghukum orang-orang yang memilikinya. Para shahabat lalu menghindari untuk meriwayatkan hadis, baik secara tertulis maupun lisan, karena takut kepada ‘Umar. Hanya sedikit shahabat yang tetap mencatat, menghimpun dan meriwayatkan hadis yang kemudian menjadi dasar bagi koleksi hadis belakangan, seperti ‘Abd Allah b. ‘Amr b. ‘Ash (w.65/684) Abû Hurayrah (56/678), Ibnu ‘Abbâs (w. 67-8/686-8), dan Anas b. Mâlik (w. 94/712).
Dengan wafatnya ‘Umar dan penyebaran Mushhaf ‘Utsmânî, kekhawatiran tersebut menjadi hilang. Hadis kemudian mengalami perkembangan yang sangat berarti pada separo kedua abad pertama. Para shahabat yang dulunya berpihak kepada ‘Umar dan enggan meriwayatkan hadis mulai mencatat dan memelihara “pengetahuan mereka”. Selanjutnya, hadis diajarkan di berbagai pusat Islam, terutama di Madinah dan Mekkah, tidak hanya oleh para ahli hukum dan para hakim, tetapi juga oleh para guru, pengkhotbah dan tukang cerita (qushshâsh/ story tellers).[15]
Bukti bahwa hadis sudah ditulis sejak awal Islam adalah adanya laporan-laporan tentang tulisan para shahabat dan tulisan yang berasal dari mereka, tulisan para tabiin abad pertama dan tulisan yang berasal dari mereka, tulisan para tabiin muda dan tulisan yang berasal dari mereka, tulisan sejumlah tabiin muda dan para pengikut tabiin dan tulisan yang berasal dari mereka. Tentang hal ini, M.M. Azami menyebutkan paling tidak 52 shahabat, 52 tabiin abad pertama, 99 tabiin muda, 247 tabiin muda dan para pengikut tabiin yang telah menulis hadis.[16]
Salah satu bukti dari sekian banyak naskah hadis yang ditulis oleh para shahabat dan tabiin adalah naskah Hammâm b. Munabbih (40-131/132 H), seorang tabiin Yaman yang menerima hadis dari gurunya, Abû Hurayrah dari Muhammad Rasulullah saw. Naskah Hammâm ini kemudian dikenal sebagai ShahÎfah Hammâm bin Munabbih yang ditemukan oleh Muhammad HamÎdullah di Damaskus, Syria dan di Berlin, Jerman. ShahÎfah Hammâm ini berisi 138 hadis tanpa disertai daftar isi dan diyakini telah ditulis sekitar pertengahan abad pertama hijrah.[17]
Selain naskah Hammam, ada beberapa naskah yang sudah ditemukan yang dapat digunakan untuk mendukung pendapat Nabia Abbott tersebut. Naskah-naskah itu adalah:
1. Naskah hadis-hadis al-A’masy (w. 148 H) yang diriwayatkan oleh Wâqi’.
2. Kitab al-Manâsik karya Ibnu Abi ‘Arûbah (w. 157 H).
3. Sebagian dari kitab Sîrah Ibnu Ishâq (w. 151).
4. Sebagian Naskah hadis-hadis Ibnu Jurayj (w. 150 H).
5. Naskah Ibnu Thahmân (w. 168 H), juz pertama saja.
6. Naskah Juwairiyyah yang berisi hadis Nâfi’ mawla Ibnu ‘Umar (w. 117 H).
7. Naskah ‘Ubaidillâh bin ‘Umar yang berisi hadis dari Nâfi’ mawla Ibnu ‘Umar (w. 117 H).
8. Naskah Suhail bin Abû Shâlih (w. 138 H) yang berisi hadis dari ayahnya.
9. Juz awal dari Naskah hadis-hadis Sufyân al-Tsawrî (w. 161 H).
10. Naskah al-Layts bin Sa’ad yang berisi hadis dari Yahid bin Abû Habîb (w. 128 H).
11. Naskah Syu’aib bin Abû Hamzah yang berisi hadis dari al-Zuhri (w. 124 H).[18]
Implikasi dari ditemukannya Naskah Hammâm bin Munabbih dan beberapa naskah yang lain adalah bahwa hadis sudah ditulis sejak sangat awal oleh para shabat dan tabiin. Tentu saja ini merupakan bantahan terhadap pendapat Ignaz Goldziher yang menyatakan bahwa sebagian besar hadis diriwayatkan hanya melalui lisan dan tidak melibatkan dokumen tertulis.
Kesimpulan
Berbagai bukti yang dikemukakan oleh Nabia Abbott dari kajian tentang papyrus berbahasa Arab cukup meyakinkan kepada setiap pengkaji hadis bahwa pertumbuhan jalur isnâd secara berlipat ganda membuat jumlah hadis membengkak menjadi sangat banyak pada abad ketiga hijrah. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara pertumbuhan isnâd hadis dan pertumbuhan matan hadis. Selain itu, berbagai naskah awal yang ditemukan oleh Nabia Abbott, Muhammad Hamidullah, dan M.M Azami juga menjadi bukti bahwa praktek penulisan hadis sudah berlangsung sejak masa awal Islam yang dilakukan oleh para anggota keluarga nabi, para shahabat dan budak-budaknya dan terus berlanjut hingga hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik. Temuan-temuan Nabia Abbott ini paling tidak dapat mengoreksi kesalahpahaman Ignaz Goldziher di dalam memahami sejarah pertumbuhan dan penulisan hadis.
Wa Allahu A’lam bi al-Shawab
Daftar Pustaka
Abbott, Nabia. Aishah – The Beloved of Mohammed. Chicago: The University of Chicago Press, 1942.
_______. Studies in Arabic Literary Papyri, Vol. II (Qur`anic Commentary and Tradition). Chicago: The University of Chicago Press, 1967.
_______. “Hadith Literature: Collection and Transmission of Hadith,” dalam A.F.L. Beeston and Others (eds.) Arabic Literature to the End of Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.
Akh Minhaji. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2001.
Ali Masrur. “Perkembangan Literatur Hadis”, dalam Khazanah, Jurnal Pascasarjana UIN Bandung, Vol. 3, No. 9 (2006).
_______. Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Azami, M.M. Studies in Early Hadith Literature with a Critical Edition of Some Early Texts. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1968.
_______. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
_______. Studies in Hadith Methodology and Literature. Indianapolis: Islamic teaching center, 1977.
Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period. Surrey: Curzon Press, 2000.Http://www.islamic-awareness.org/Hadith/exisnad.htmlMuhammad Hamidullah. “Aqdam Ta`lîf fî al-Hadîts al-Nabawî: Shahîfah Hammâm b. Munabbih wa Makânatuhâ fî Târîkh ‘Ilm al-Hadîts”, dalam Majallah al-Majma’ al-‘Ilmî al-‘Arabî 1953, 28, vol. 1 (1953).
[2]Nabia Abbott, Aishah – The Beloved of Mohammed (Chicago: The University of Chicago Press, 1942), p. vi.
[7] Http://www.islamic-awareness.org/Hadith/exisnad.html
[10]Ibid., p. 551.
12]Ibid.
[13]Nabia Abbott, “Hadith Literature: Collection and Transmission of Hadith,” dalam A.F.L. Beeston and Others (eds.) Arabic Literature to the End of Umayyad Period, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), p. 289.
14]Ibid., p. 289-298. Lihat Juga, Akh Minhaji. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Masrur (Yogyakarta: UII Press, 2001), p. 34.
[15]Herbert Berg. The Development of Exegesis in Early Islam, p. 18-19; Ide-ide Nabia Abbott tentang pertumbuhan isnâd dan periwayatan hadis secara tertulis dapat dilihat juga dalam Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. (Yogyakarta: LKiS, 2007), p. 42-45.
[16]M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, p. 132-440.
17]Muhammad Hamidullah. “Aqdam Ta`lîf fî al-Hadîts al-Nabawî: Shahîfah Hammâm b. Munabbih wa Makânatuhâ fî Târîkh ‘Ilm al-Hadîts”, dalam Majallah al-Majma’ al-‘Ilmî al-‘Arabî 1953, 28, vol. 1 (1953), p. 96-451; Lihat pula Ali Masrur, “Perkembangan Literatur Hadis”, dalam Khazanah, Jurnal Pascasarjana UIN Bandung, Vol. 3, No. 9 (2006); p. 21-22.
ALI Masrur