Selasa, 24 Januari 2012

Apakah Engkau Termasuk Muslimah Yang Minimalis?

Sebuah Renungan Oleh: Novita Aryani M.Noer & Rini Damayanti


Sadar atau tidak, sistem ‘busuk’ Demokrasi Kapitalis telah menghitamkan pandangan kita para perempuan. Kita diseret ke luar rumah untuk bekerja, baik itu karena terpaksa maupun sukarela demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian sulit diperoleh. Ditengah kondisi ini pun tak hanya satu peran yang kita ambil; sebagai ibu, pengemban dakwah, karyawan, wirausaha, mahasiswa, pelajar atau yang lainnya. Seringkali dengan banyaknya peran yang kita ambil, membuat benturan-benturan dalam waktu tak terelakkan lagi.
Kelelahan, kelalaian, kehilangan tujuan menjadi akibat ketika muslimah tak mampu menghindarkan diri dari benturan berbagai aktivitas dan kewajiban tersebut. Idialisme awal yang menginginkan menjadi istri dan ibu hebat, mahasiswa top, karyawan teladan, pengusaha sukses, pengemban dakwah yang haritsan aminaan lil Islam menjadi kabur dan kian menghitam dari pandangan.

Jika tak mampu mengikuti ritme yang diinginkan jama’ahnya tersebab bingung membagi diri antara keluarga, kerja, dan dakwah, akhirnya ia mengundurkan diri dari aktivitas bersama jama’ahnya. Namun ada juga yang tak sampai sedemikian, ia tetap mempertahankan seluruh perannya. Namun aktivitas tersebut berjalan dengan prestasi yang ‘minimalis.’ Manjadi istri dan ibu ‘minimalis,’ karyawan ‘minimalis,’ pengusaha ‘minimalis,’ mahasiswa ‘minimalis’ atau pelajar ‘minimalis,’ yang penting semua bisa dijalankan walau itu ‘pas-pasan.’

Peran Muslimah Di Masa Generasi Terbaik

Bila kita buka lembaran-lembaran siroh Nabawiyah untuk berkaca pada generasi terbaik kaum muslimin, sungguh peran sahabiyah pada saat itu tidaklah satu. Peran sebagai ummu wa rabbatul bait, sebuah peran mulia yang tak terbantahkan lagi yang telah melahirkan generasi tabiit yaitu orang-orang yang masuk ke dalam katagori haritsan aminaan lil Islam.

Peranan muslimah saat itu seperti dalam hubungan sosial, tampak dalam satu riwayat ketika syahidnya Ja’far Athoriyyah, para shahabiyah yang lainnya datang membawakan makanan untuk istrinya Ja’far, Asma binti Umais dan anak-anaknya sehingga mereka tak perlu bersusah-susah memasak makanan lagi. Selain itu, mereka juga ada yang ikut bekerja di kebun membantu suami mereka, seperti yang dilakukan oleh Asma istri dari Zubair bin Awwam yang dalam satu riwayat telah ikut memanggul hasil panen kurma dari kebun ke rumahnya seorang diri dengan jarak yang cukup jauh. Bahkan istri baginda Rasulullah saw. Shafiyyah telah mengambil upah memintal benang dari seorang Yahudi, upah tersebut diinfakkan seluruhnya oleh Shafiyyah.

Adalah ummul mukminin Aisyah r.a, istri Rasulullah saw. seorang wanita yang cantik dan pintar dengan hafalan paling tinggi diantara wanita lainnya sehingga selalu menjadi tempat bertanya sahabat dan sahabiyah. Di dalam Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para istri Nabi banyak menghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi” Selain meriwayatkan hadits, Aisyah r.a. juga mampu menggali hukum sendiri. Bahkan karena kecerdasan dan keluasan ilmunya, menurut Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (anak saudara laki-laki Aisyah) mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah r.a. menjadi penasihat pemerintah. Bahkan beliau juga menguasai ilmu medis atau pengobatan.

Selain itu, sahabiyah juga tak ketinggalan dalam setiap medan jihad ikut serta di garis belakang. Mereka mengurus perbekalan, merawat pasukan yang terluka, namun dalam keadaan genting merekapun turut dalam garis depan medan peperangan. Dalam perang Uhud terukir nama sahabiyah yang sangat berani, Nusaibah binti Kaab. Beliau bersama suami dan anaknya melindungi Rasulullah saw pada saat yang genting dan beliau juga ikut perang melawan Musailamah al Kazab. Dalam perang Ahzab, Shafiyah binti Abdul Muthalib, telah membunuh seorang Yahudi yang menyusup ke tempat perlindungan kaum wanita dan anak-anak. Beliau juga ikut bersama Rasulullah dalam perang Khaibar. Dalam masa perang, ketika suami berangkat berjihad, merekalah yang menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anak mereka, hal itu tidak berlangsung sehari dua hari saja karena peperangan berlangsung hingga berbulan-bulan.

Pribadi-pribadi yang luar biasa, muslimah tangguh generasi pertama kaum muslimin. Di tangan merekalah Allah Swt. telah mempercayakan tegaknya Daulah Islam pertama di muka bumi ini.

Mengharmonisasikan Peran Muslimah

Mengharmonisasikan peran sebagai ibu, pengemban dakwah dan yang lainnya memanglah tidak mudah. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa dan tidak mungkin. Allah Swt. berfirman:
Tidaklah Aku bebankan seseorang sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Jika direfleksikan ayat tersebut dengan keadaan masing-masing dari kita, apapun yang menimpa diri kita, maka Allah telah memberikan kesanggupan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tinggal bagaimana kita mengeluarkan kemampuan secara maksimal dengan berfikir serius, berusaha dan berdoa.
Allah berikan karuniaNya berupa anak-anak yang aktif (bukan nakal) supaya kita berusaha menjadi ibu yang tangguh. Allah karuniakan suami yang ‘rewel’ supaya kita dapat menjadi istri yang sabar dan pintar. Allah karuniakan rizki yang pas sekali bahkan hampir pas-pasan supaya kita bersyukur dan selalu berusaha, dan Allah berikan medan dakwah yang alot agar kita menjadi kuat dan kreatif.

Semua yang dibebankan Allah sesungguhnya adalah untuk menempa diri kita. Seperti halnya besi hitam yang tak berbentuk, ditempa dengan panasnya api dan pukulan palu, hingga besi itu berubah menjadi pedang yang tajam, indah berkilau. Semua yang kita lihat sebagai masalah sesungguhnya adalah jalan menuju surga.

Sesungguhnya jalan menuju surga dipenuhi dengan semak belukar berduri dan kesulitan-kesulitan” (Al-Hadist)

Memang benar bahwa kewajiban dakwah berjama’ah, menjadi ummu wa rabbatul bait dan memenuhi akad kerja, berbeda. Dakwah berjama’ah hukumnya adalah fardhu kifayah, menjadi ummu wa rabbatul bait adalah fardhu ain (bagi yang telah menikah), bekerja bagi wanita hukumnya mubah, dan memenuhi akad kerja hukumnya wajib.

Namun ingatlah, dalam kondisi saat ini dakwah berjama’ah merupakan kepentingan yang darurat mengingat telah hilangnya Khilafah Islamiyah semenjak tahun 1924 dari tubuh kaum muslimin. Dakwah menegakkan Khilafah bukanlah aktivitas mengisi waktu luang, yang dapat ditinggalkan saat kita punya bayi, saat kita mengejar gelar S1, S2 dan seterusnya, atau saat kita sibuk mengurusi bisnis yang tengah berkembang dan karir yang tengah menanjak. Berjuang untuk Islam bukan seperti itu. Muslim sejati tidak pernah melepaskan diri dari perjuangan Islam sedetikpun. Ia senantiasa bergerak menuju ketinggian, dari ketinggian menuju yang lebih tinggi lagi. Ia mempunyai cita-cita besar untuk mewujudkan secara nyata Islam rahmatan lil ‘alamiin dan melihat dalam wujud peradaban al Islamu ya’luu wa laa yu’laa alaih.

Demikian pula menjadi seorang istri dan ibu adalah konsekwensi yang harus diterima ketika memilih untuk menikah. Keberlangsungan generasi mendatang ada di tangan lembut seorang ibu. Ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Demikian pula, ketaatan seorang istri pada suami pun hampir merupakan suatu kemutlakan. Tiadalah boleh seorang wanita keluar rumah tanpa ada keridhoan suaminya.

Wanita adalah mitra sejajar laki-laki. Allah memberi karunia kelebihan baik kepada kaum lelaki juga kepada kaum wanita. Islam memberikan ruang kepada wanita untuk menyalurkan bakat, prestasi dan kemampuannya untuk kemajuan masyarakat selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Seorang wanita boleh sekolah setinggi-tingginya, seorang wanita dapat menjadi pengusaha, ilmuwan, dokter, dan lain-lain demi memberikan kemanfaatan kepada keluarga, kaumnya atau masyarakat secara umum.

Faktor-Faktor Penting Dalam Mengharmonisasikan Peran Muslimah
Untuk dapat mengharmonisasikan peran yang dipikul, maka faktor yang harus diperhatikan seorang muslimah adalah:
1. Keimanan. Senantiasa kuatkan iman, karena keimanan akan menyemburkan semangat dan menanamkan keikhlasan.
2. Kecerdasan. Kecerdasan harus diasah, karena kecerdasan akan melahirkan kreatifitas, kecepatan dan ketepatan mengambil tindakan, tajam dalam memilih prioritas (aulawiyat), cerdik dalam menyelesaikan masalah.
3. Kerjasama. Bangun kerjasama yang baik dan solid dengan siapapun, apalagi dengan suami, anak, orang tua/mertua, teman sekelas, tetangga, saudara sehalqoh/satu jama’ah, rekan kerja, atasan, bawahan, dan lain-lain.
4. Kesehatan. Selalu menjaga kesehatan. Fisik yang kuat akan lebih menghasilkan banyak karya.

Khatimah

Dakwah adalah kewajiban dari Allah Swt kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun wanita, menjadi ibu (ummun) dan pengatur rumah tangga (rabbatul bait) juga kewajiban dari Allah Swt., berbakti kepada orang tuapun kewajiban dari Allah. Allah Maha Tahu diberinya kewajiban karena Ia tahu kita mampu menjalankannya. Allah Maha Penyayang. Allah Maha Pengasih. Kewajiban dari Allah bukan untuk dibenturkan, akan tetapi dilaksanakan, diupayakan agar semua terlaksana. Ingatlah janji Allah dalam firmanNya:
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agamaNya” (QS. Al-Hajj: 40)

Engkaulah muslimah pejuang-pejuang Islam yang tangguh, da’iyah sejati, ibu pencetak generasi pemimpin masa datang para mujtahid mujtahidah mufakkirin siyasiyyin mujahid mujahidah fii sabilillah, itulah sebutan yang hendaknya menyatu dalam profilmu duhai muslimah sejati. Wallahu a’lamu bishshowab.


sumber foto : ammabigbiggirl.blogspot.com