Dewasa ini, kita hidup di sebuah fase menuju akhir dari kehidupan dunia. Hal itu ditandai semakin hilangnya rasa memiliki agama sebagian umat muslim. Pada momen ini, umat Islam dihadapkan pada berbagai fitnah,ujian, cobaan, dan malapetaka. Tidak sedikit, mereka larut di dalamnya. Mereka terombang-ambing untuk menerima sistem, jalan, manhaj, aturan yang diluar ketentuan Allahuta’ala. Mereka berfikir jalan ini harus mereka tempuh, sebagai buah dari kehidupan di akhir dunia, dimana umat Islam harus membarter kesucian hukum Allah dengan hukum jahiliyyah. Naudzubillah min dzalik.
Namun ada pula, sebagian umat Islam yang tetap pada jalan tauhidnya. Mereka tetap berdiri di barisan-barisan yang mengedepankan kemuliaan akhirat daripada kenikmatan dunia dan seisinya. Meski keterasingan menerpanya, meski kesulitan melilitnya. Tapi mereka yakin bahwa Allah bersamanya.
Kita ketahui bersama, belakangan ini, Indonesia sedang digemparkan oleh polemik pencabutan Peraturan Daerah (Perda) mengenai Minuman Keras (Miras) yang konon telah diterapkan di berbagai daerah. Peraturan ini menurut Mendagri harus dievaluasi karena bertentangan dengan kepres. Sebab selama ini Indonesia belum menemui kata mufakat akan keilegalan miras. Sebab melaui Keppres tersebut Miras masih legal asal di minum di hotel-hotel.
Hal ini turut ditegaskan oleh Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Raydonnyzar Moenek. Ia menyatakan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 145 Ayat 1 dan 2 tentang Pemerintah Daerah, Mendagri punya fungsi pengawasan untuk mengingatkan aturan yang potensial bertentangan dengan kepentingan umum.
Karena itu, kalau ada Pemda yang ingin mengajukan uji materi Keppres Nomor 3 Tahun 1997, itu tidak tepat. Pasalnya dalam Keppres tersebut semua jenis miras dilarang beredar, padahal ada golongan miras tertentu yang dibolehkan dijual di tempat-tempat tertentu, seperti hotel. (Republika, Selasa 10/01).
Karenanya hingga detik ini tidak heran diberbagai daerah, miras masih diperjual belikan secara bebas baik di pub, tempat hiburan, hingga warung remang-remang. Pemkot Surakarta, misalnya, memberlakukan manajemen yang ketat atas peredaran minuman keras (miras) di Kota Solo. Penjualan dan peredaran minuman beralkohol hanya diperbolehkan di tempat-tempat tertentu seperti, hotel bintang 3,4,5, restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, bar, pub serta diskotik. (Suara Merdeka, 08/07/2010)
Ucapan ini tentu sangat menodai keimanan kita. Mereka menganggap seakan-akan Allah tidak ada. Seakan-akan Allah, tidur, tuli, lugu hingga mereka bebas berbuat kerusakan di tempat-tempat tertentu.
Mereka juga seakan-akan menganggap Allah adalah Zat yang buta hingga tidak bisa mengidentifikasi hambaNya yang bersembunyi dalam melakukan kehinaan. Padahal salah satu sifat Allah adalah Maha Melihat. Allah Maha Tahu dimana saja tempat, letak, keberadaan hamba-hambaNya. Inilah salah satu point yang dinasehatkan Lukman kepada anaknya bahwa perbuatan manusia sekecil apapun tidak lepas dari kontrol Allahuta’ala.
(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [Surah Luqman: 16]
Dalam ayat lainnya, Allah juga menegaskan bahkan sehelai daun yang jatuh sekalipun tidak lepas dari pantauanNya. Tidak pula daun kering atau basah kecuali Allah melihatnya.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” [Surah Al An’aam: 59]
Bayangkan jika sehelai daun saja hingga ke akar-akarnya mampu dilihat Allahuta’ala, bagaimana mungkin manusia yang lebih besar bahkan makhluk yang lebih sempurna mampu lepas dari penglihatanNya.
Ada sebuah kisah menarik dari Abu Bakar Ra. Abu Bakar r.a ketika beliau bertemu dengan seorang pengembala kambing. Saat menjadi khalifah, Abu Bakar r.a kerapkali menginspeksi keadaan seluruh rakyatnya hingga ke berbagai pelosok negeri. Hingga pada suatu hari Abu Bakar r.a diharuskan melalui sebuah jalan padang rumput dekat pegunungan. Udara yang sangat sejuk, rupanya tidak membuat Abu Bakar r.a lepas dari tapi rasa haus, hingga kemudian beliau melihatnya seorang penggembala sedang menggembalakan dombanya. Abu Bakar pun memanggilnya, bermaksud meminta air.
“Hai penggembala! Penggembala!”, teriaknya sambil melambaikan tangan. “Ada apa, tuan? Ada perlu apa denganku?” jawab penggembala sambil mendatangi Abu Bakar r.a. “Aku kehausan, mungkin engkau bisa memberiku air susu untukku. Aku ingin membeli susu dari domba gembalaanmu. Aku lelah berjalan seharian dan tenggorokanku kering. Mungkin air susu domba ini dapat menyegarkan badan dan menghilangkan dahagaku.” kata Abu Bakar r.a.
“Maaf, tuan. Aku hanya penggembala. Domba-domba ini bukan milikku. Pemiliknya ada di balik gunung itu. Aku tidak dapat bertransaksi dengan tuan. Namun, jika tuan kehausan dan ingin mendapatkan air susu domba ini, tuan boleh mengambilnya. Nanti aku akan memintakan izin pada pemiliknya atau kupotongkan upahku untukmu.”jawab penggembala.
Abu Bakar pun terkesan dengan kebaikan hati sang penggembala. Saat timbul pikiran darinya untuk menguji iman sang penggembala.
“Hai penggembala, bagaimana jika kubeli saja domba yang gemuk ini. Satu ini saja. Ini uangnya. Ambillah.” desak Abu Bakar r.a. “Maaf tuan, domba ini bukan milikku, aku hanya menggembalakannya. Jika tuan ingin membelinya, aku akan mengantar tuan ke pemiliknya.” kata penggembala sambil mengembalikan uangnya. “Tapi kau kan dapat mewakilinya. Begini saja, kubeli domba ini dan ini uangnya. Katakan saja pada pemiliknya dombanya hilang atau dimakan serigala. Bukankah daerah ini banyak serigala? Lagipula dengan banyaknya domba pemiliknya tidak akan tahu telah kehilangan seekor. apa pemiliknya menghitung setiap hari? Ambillah, akan kubawa domba ini. Tak akan ada yang tahu.” desak Abu Bakar r.a. lagi.
“Tuan benar. Tak akan ada seorang pun yang tahu kecuali kita. Dan serigala memang banyak berkeliaran di daerah ini. Majikanku juga tidak pernah menghitung jumlah dombanya. Semuanya dipercayakan padaku.” jawab penggembala. “Tapi tuan, katakan padaku, dimanakah Allah? Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, Yang Selalu Mengawasi dan Yang Tak Pernah Tidur? Dimanakah Allah, wahai tuan?” Abu Bakar hanya tersenyum. Beliau betul-betul terkesan dengan jawaban penggembala itu. Subhannallah.
Itulah karateristik mukmin sejati. Karakteristik yang menjadikan kekuasaan Allah sebagai pelindungnya. Kekuasaan yang Maha Mengetahui apa yang diperbuat oleh hambaNya. Oleh karena itu, sudah saatnya umat muslim menerapkan seluruh hukum Allah, dan tidak menolerir sedikit pun peluang pencampuran.
Kita pun juga tidak habis pikir pada logika beberapa kalangan untuk menerima keputusan itu dengan dalih agar peredaran miras dapat ditekan. Mereka beranggapan ini adalah jalan untuk menegakkan saeluruh hukum Allah di muka bumi. “Habis mau bagaimana lagi, akhi. Ini adalah sebuah tahapan kami dalam melarang seluruh peredaran miras,” maka katakanlah kepada orang-orang itu, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah agama Islam secara keseluruhan; dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah Syaitan; sesungguhnya Syaitan memang musuh kamu yang nyata.” [Surah Al Baqarah: 208]
Sungguh ini betul-betul penghinaan kepada Allah. Bagaimana mungkin kita menegakkan kesucian Islam dengan wasilah yang kotor. Menerima penjualan miras di Hotel sama saja dengan pelegalan. Dan merubah sesuatu yang haram menjadi halal adalah Syirik.
“Keputusan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [Surah Yusuf: 40]
Karenanya tidak heran, ketika Allah dan Rasul-Nya turut mengecam para alim ulama dan ahli ibadah dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah mengambil hak Allah dalam menentukan hukum terhadap sesuatu dengan menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan-Nya dan Al Quran menyebut mereka sebagai tuhan (tandingan) Allah swt serta mengecam para pengikutnya yang mengikuti hukum-hukum yang dibuat mereka padahal bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan Allahuta’ala.
Imam at Tirmidzi meriwayatkan dari Adi bin Hatim berkata: Aku mendatangi nabi Shallallahu saw dan di leherku ada salib emas, beliau bersabda: "Hai Adi, buanglah berhala itu darimu." Dan aku mendengar beliau membaca dalam surat Al Baraa`ah: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.' [Surah At Taubah: 31] beliau bersabda: "Ingat, sesungguhnya mereka tidak menyembah mereka tapi bila mereka menghalalkan sesuatu, mereka menghalalkannya dan bila mengharamkan sesuatu, mereka mengharamkannya." Allahua'lam. (Pz)