Di Bali banyak ditemukan peninggalan-peninggalan budaya, diantaranya yang terkenal adalah naskah-naskah kuno yang disebut lontar. Lotar-lontar yang jumlahnya ribuan perlu diselamatkan karena merupakan sumber yang sangat penting dalam usaha mempelajari kebudayaan Indonesia kuno, khususnya kebudayaan Bali.
Naskah-naskah yang tua dan langka dapat diturun sebelum babonnya (aslinya) hilang. Lewat upaya penyalinan kedalam lontar baru, akhirnya setiap peminat dapat membuat dan memesan naskah yang diinginkan. Cara ini sudah ada pada abad ke-17, ketika naskah kekawin Ramayana yang tertua disimpan diperpustakaan Universitas Leiden. Naskah ini bernomor LOr 1790 sudah berumur tiga abad (1782 Masehi). Naskah Lain Negarakertagama temuan Brandes (1894) dari koleksi puri Cakranegara Lombok dan Calon Arang Lor 5387/5279 temuan yang sama. Rupanya Naskah yang datang ke leiden pada periode awal abad ke -20 dan akhir abad yang lalu merupakan Naskah-naskah yang tertua yang menjadi koleksi di perpustakaan Universitas Leiden.
Proses pembuatan lontar dimulai dari pemetikan daun lontar dari pohonnya sampai pengawetan dan penyimpanan.Pengawetan dilakukan secara alamiah dan secara teknik kimiawi. Secara teknik alamiah biasanya dijemur pada sinar matahari, ataupun penyesuaian suhu udara sehingga tidak lembab. Hal ini dilakukan agar pori-pori air mengembang dan menguap dari daun lontar. Benda-benda yang lain dicampurkan ketika mengawetkannya. Alat-alat pengawet itu seperti ketika merebus daun lontar dipakai sindrong (rempah-rempah), bungsil (buah kelapa yang belum berair), buah padi (gabah), direndam didalam air tawar. Bahan kimiawi biasanya dipakai kapur barus. Alat-alat bantu yang lain dari mulai pemrosesan hingga lontar siap ditulisi, seperti landasan parang (pisau), tempat menjemur, bak air, sepet (sikat dari sabut kelapa), daun tradisional agar naskah lontar tidak dimakan rayap. Lontar yang telah ditulisi disimpan didalam keropak yang disebut naskah.
Ida bagus anom giri atau de bagus aktif mempertahankan budaya membuat lontar dan penulisan lontar dengan cara setiap sore mengajak beberapa warga untuk berlatih menulis aksara jawa kuno dengan media lontar. Penggunaan media lontar karena lontar akan tahan lebih lama dan tidak gampang lapuk. Dalam beberapa acara adat di bali yakni pembacaan lontar dengan terjemahan bahasa bali. Di pesanti atau griye wulah tempat para pemuka agama dan keturunannya tinggal.
Beberapa sekolah di bali masih mengembangkan budaya lokal dalam pengajarannya. Budaya lontar salah satunya menjadi daya tarik siswa untuk dipelajari dan membuat karya dalam bentuk lontar.
Untuk proses pembuatan lontar membutuhkan waktu yang lama yakni sekitar 5-6 bulan untuk menghasilkan lontar yang berkualitas. Pemilihan daun lontar serta ukurannya juga sangat penting karena setiap karya lontar yang akan ditulis mempunyai kaidah tersendiri dalam hal ukurannya. Proses pembuatan lontar adalah sebgai berikut :
Proses pembuatan lontar
Di pulau Bali, daun-daun lontar sebagai alat tulis masih dibuat sampai sekarang. Pertama-tama daun-daun pohon siwalan dipetik dari pohon. Pemetikan biasa dilakukan pada bulan Maret/April atau September/Oktober karena daun-daun pada masa ini sudah tua. Kemudian daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur menggunakan panas matahari. Proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan.
Lalu daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan kemudian digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa.
Setelah daun-daun dijemur kembali, tapi sekarang kadang-kala daun-daun sudah dipotong dan diikat. Lalu lidinya juga dipotong dan dibuang.
Setelah kering daun-daun lalu direbus dalam sebuah kuali besar dicampur dengan beberapa ramuan. Tujuannya ialah membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan melestarikan struktur daun supaya tetap bagus.
Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan dijemur kembali di atas tanah. Lalu pada sore hari daun-daun diambil dan tanah di bawah dedaunan dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya lembab dan menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan sebuah lap.
Lalu daun-daun ditumpuk dan dipres pada sebuah alat yang di Bali disebut sebagai pamlagbagan. Alat ini merupakan penjepit kayu yang berukuran sangat besar. Daun-daun ini dipres selama kurang lebih enam bulan. Namun setiap dua minggu diangkat dan dibersihkan.
Setelah itu daun-daun dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga lubang: di ujung kiri, tengah, dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke ujung kiri harus lebih pendek daripada ke ujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda pada saat penulisan nanti.
Tepi-tepi lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah. Lontar sekarang siap ditulisi dan disebut dengan istilah pepesan dalam bahasa Bali dan sebuah lembar lontar disebut sebagai lempir.
Proses penulisan lontar
Lembaran lontar yang masih kosong.
Setiap lempir lontar yang akan ditulisi, biasanya diberi garis dahulu supaya nanti kalau menulis tidak mencong-mencong. Hal ini dilakukan dengan menggunakan sebuah alat yang disebut panyipatan. Tali-tali kecil direntangkan pada dua paku bambu. Lalu dibawahnya ditaruh lempir-lempir lontar. Tali-tali ini lalu diberi tinta dan ditarik. Rentangan tali yang ditarik tadi lalu mental dan mencipratkan tinta ke lempiran lontar sehingga terbentuk garis-garis.
Pisau untuk menulisi lontar.
Lalu lontar yang sudah siap ditulisi ditulisi menggunakan pisau tulis yang di Bali disebut pengropak atau pengutik. Di Jawa Barat dalam bahasa Sunda disebut dengan istilah péso pangot. Sang penulis sebenarnya mengukir aksara pada lempir-lempir lontar ini. Setelah selesai ditulis sebuah lempir, biasanya pada kedua sisi, maka lempir harus dihitamkan. Cara menghitamkan dilakukan dengan menggunakan kemiri yang dibakar sampai mengeluarkan minyak. Lalu kemiri-kemiri ini diusapkan pada lempir dan ukiran aksara-aksara tadi jadi terlihat tajam karena jelaga kemiri. Minyak kemiri sekaligus juga menghilangkan tinta-tinta garisan. Lalu setiap lempir dibersihkan dengan lap dan kadangkala diolesi dengan minyak sereh supaya bersih dan tidak dimakan serangga.
Lalu tumpukan lempir-lempir ini disatukan dengan sebuah tali melalui lubang tengah dan diapit dengan sepasang pengapit yang di Bali disebut sebagai takepan. Namun kadangkala lempir-lempir disimpan dalam sebuah peti kecil yang disebut dengan nama kropak di Bali (di Jawa kropak artinya adalah naskah lontar).
Rofita Nnayla